Ketika modal tanam dari tengkulak, petani wajib menjual hasil panennya kepada tengkulak tersebut. Harga jangan harap tinggi, mesti ada selisih, pastinya lebih rendah dari umumnya.Â
Modal bukan saja untuk biaya produksi padi, dalam keseharian pun petani kecil pinjam sana sini dengan jaminan panen bayar. Jika memiliki sawah hanya satu petak. Hasil panen habis untuk bayar utang, tidak ada sisa untuk investasi.Â
Dua, tidak ada pemasukan lain
Petani pada umumnya tidak memiliki sumber pemasukan lainnya.  Ketika musim tanam selesai, banyak petani yang duduk di warung sambil sesekali merawat tanamannya. Tipe petani seperti ini sulit untuk kaya.Â
Meski ada petani yang kreatif, seperti berternak kambing, sapi atau kerja bangunan, gaji itu untuk kelangsungan hidup keluarganya. Namun, golongan ini pun masih susah kaya karena penghasilan serabutan tidak seberapa dan tidak pasti. Â
Tiga, gaya hidup
Gaya hidup di kampung konon sederhana, tidak membutuhkan biaya banyak. Benar sekali jika kita mau berhemat. Namun, tidak semua petani bahkan warga desa yang bisa hidup hemat.Â
Era digital, justru mendorong warga atau petani kelas bawah bergaya hidup mewah. Misalnya, setiap anggota keluarga memiliki ponsel, motor, sepeda. Memaksakan diri bangun rumah bagus dari hasil utang dan lain sebagainya. Padahal jika ingin berhemat, kendaraan yang sifatnya konsumtif bisa ditunda.Â
Akhir kata
Kaya tidak bisa diukur dengan seberapa banyak pemasukan atau aset yang dimiliki. Petani bisa disebut kaya jika bisa lepas dari utang tengkulak dan cerdas mengelola hasil panen.Â
Terima kasih telah singgah. Salam.Â
Bahan bacaan 1Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H