Puasa Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi sebagai perisai untuk menjaga lisan agar tidak mudah emosi.
Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari, sebagai makhluk sosial ada saja hal yang memicu marah. Terlebih kehidupan di desa, antar tetangga sangat dekat. Hal ini rentan terjadinya konflik.
Selain interaksi yang dekat di sekitar rumah. Lingkungan di sawah pun rentan tersudut emosi. Permasalahan kadang sepele, seperti masalah air, jual gabah kepada tengkulak lain, lahan yang dilewati mesin besar tanpa izin.
Kita harus benar-benar menjaga kewarasan apalagi saat puasa di bulan Ramadan.Â
Apakah marah membatalkan puasa?
Kita sering kali marah jika ada sesuatu hal yang tidak sesuai karena berprinsip tidak akan membatalkan puasa. Ya memang benar, marah tidak akan membatalkan puasa.
Cholil Nafis, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah, menjelaskan seperti yang saya kutip dari kompas, mereka yang marah atau bertengkar tetap sah puasanya. Kewajibannya sebagai Muslim untuk berpuasa telah gugur. Akan tetapi puasa tersebut tidak berdampak apa-apa.
Berbeda lagi jika marah dalam membela kebenaran. Menurutnya marah dalam membela kebenaran bukan marah, tetapi berjuang menegakkan kebenaran.
Agar puasanya berdampak, ketika ada orang marah, kita bisa berkata, "Sabar jangan marah, lagi puasa!"
Atau ketika kita yang tersudut kemarahan, hendaknya segera sadar dan berkata, "Saya sedang berpuasa, jangan marah, jangan marah."
Jika seseorang dapat mengendalikan emosinya, itu artinya dia memaknai puasa sebagai perisai. Di mana perisai adalah senjata untuk menjaga diri dari perbuatan yang membatalkan, menggugurkan pahala puasa.