Musim hujan bagi para petani sangat ditunggu-tunggu karena air hujan sebagai modal utama dalam bercocok tanam. Namun, tak jarang, jika terlalu banyak curah hujan mendatangkan bencana, seperti banjir, tanaman padi terendam, gagal panen.
Walaupun demikian, tetap harus disyukuri, di balik peristiwa selalu ada hikmah, begitu kata orang bijak. Nah untuk menyadari akan hal itu perlu kesadaran penuh, kalau manusia hanya berupaya dan berdoa.
Cara petani bersyukur akan turunnya hujan dan agar mendapat keberkahan, diwujudkan dengan berbagai tradisi.Â
Setiap daerah memiliki tradisi dan cara yang berbeda. Pada intinya sebuah tradisi sebagai bentuk syukur akan semua nikmat. Tradisi juga sebagai kearifan lokal yang harus dilestarikan.
Tak kecuali, desa tempat saya tinggal pun memiliki tradisi ketika menjelang rendeng atau musim hujan, yakni Labuhan.Â
Pelaksanaan upacara Labuhan di desa, biasanya di sawah dengan membawa aneka makanan dan dimulai dengan kirim doa atau kenduri.
Sangat disayangkan, tradisi ini sedikit berkurang peminat dari anak milenial, hanya diwakili beberapa petani yang aktif di kelompok tani. Pun upacara tidak semeriah desa lain. Padahal Labuhan ini bisa dikembangkan untuk menarik wisatawan.
Seperti apakah Tradisi Labuhan di desa lain?
Setiap daerah memiliki kearifan lokal tak sama. Inilah keunikan yang harus diketahui anak-anak zaman milenial agar mereka bisa melestarikannya.
Saya akan mengambil contoh tradisi Labuhan di Desa Pule, Kecamatan Sawahan. Desa ini tidak jauh dari desa saya tinggal, masih satu kecamatan. Walaupun satu kecamatan ada yang berbeda mengenai tradisi menyambut musim hujan.
Pada Minggu, 20/11/2022, sedikitnya 200 warga mengadakan tradisi menyambut hujan dengan Labuhan. Upacara labuhan sama seperti di desa saya yakni dengan kenduri atau berdoa di tanah lapang atau sawah.
Warga yang hadir diwakili oleh kaum laki-laki dengan membawa makanan berupa nasi dan lauk pauk seadanya. Setelah kirim doa, makanan tersebut dibungkus dengan daun pisang dan dibawa pulang masing-masing warga.