Di bawah terik matahari, saya menggandeng adik perempuan yang baru berusia 5 tahun menyusuri pinggiran kota menuju rumah teman.
Sesekali adik minta gendong karena capek, "Teteh, aku gendong, capek!"
Dengan susah payah adik cewek saya gendong dari belakang. Baru beberapa langkah, saya pun menurunkannya kembali.
"Sudah, Teteh juga capek, jalan pelan-pelan saja, sebentar lagi sampai ya!"
Adik tampak kecewa, dia mogok tidak mau jalan, saya pun terpancing untuk ngomel.
"Kan sudah dibilangi kalau Teteh main ke rumah Neng Ade jangan ikut, rumahnya jauh, panas."
"Kan aku mau dengar Teteh baca cerita yang ada di Majalah Bobo."
Itulah sebagian kecil cerita semasa sekolah dasar di kota kecil, Majalengka. Majalah Bobo menjadi bacaan favorit waktu itu.
Saya mengenal majalah Bobo sejak berteman dengan Neng Ade, dia berlangganan majalah anak, hingga koleksinya banyak.Â
Pulang sekolah, setelah makan, salat Dzuhur, saya bergegas menuju rumah Neng Ade. Adik saya selalu ngintil karena suka juga mendengarkan saya membaca.
Tahun 90-an tidak ada mainan lain selain membaca dan dadagangan (main peran) bersama teman sekolah atau tetangga.
Pada saat kelas 5 SD saya anak baru di kota tersebut, sebelumnya sekolah di desa, karena bapak mengajar di desa.