Saya berjanji jika telah menikah akan meninggalkan hobi naik gunung, hiking dan hobi lainnya. Ternyata janji itu hanya bisa ditempati selama 16 tahun.Â
Ketika anak pertama menginjak usia 17 tahun, keinginan hiking terbesit lagi. Saya coba ajak dia untuk hiking bareng ke Tawangmangu, anak pun setuju. Susah move on kan?
Seseorang sudah memiliki hobi terkadang susah dilepaskan, jika pun bisa, ada keinginan aktif lagi atau hanya sekadar napak tilas.
Ketika sudah memiliki pasangan, tentunya harus seizinnya agar tidak bermasalah.
Seperti yang terjadi pada tetangga saya di kampung dulu.
Menurut informasi yang saya dengar, tetangga orang tua saya, sebut saja ibu Shinta, ketika suaminya bermain kartu remi di pos ronda, ibu Shanti mengajaknya pulang. Tiba di rumah sang suami marah, terjadilah keributan hebat.
Air panas yang sedang dimasak bu Shinta disiramnya oleh sang suami ke wajahnya. Miris sekali, seketika wajah cantik bu Shanti melepuh dan mengalami kerusakan hingga 80 persen.
Sebuah kisah lagi yang diceritakan teman saya ketika suaminya jatuh cinta pada burung. Dengan dada sesak dia harus merelakan mobil semata wayangnya dijual demi membeli burung. Ketika pelihara burung, beberapa kali hewan peliharaannya itu terbang tanpa pamit, alias hilang. Rugi bukan?
Bagi sebagian orang, merestui pasangan melakukan hobinya sangat sulit,
Berbeda dengan teman saya yang tinggal di Jakarta, dengan ikhlas dia memberi ruang pada suaminya untuk menyalurkan hobi memelihara burung. Harga burung tidak tanggung-tanggung, hingga puluhan juta, ratusan juta.