Musim panen kedua telah tiba. Salah satu permasalahan petani di desa adalah ketergantungan terhadap tengkulak dan calo gabah. Seperti kita ketahui, calo gabah dan tengkulak menjadi pintu pertama dalam pendistribusian hasil panen.Â
Mata rantai lengkapnya minimal ada 5, yaitu calo, tengkulak/pengepul, distributor, warung beras, baru ke konsumen. Masing-masing mata rantai jika mengambil keuntungan 10-20 persen, banyak petani kecil yang terjebak dalam kemiskinan dan tidak sejahtera.Â
Berikut contoh kisah 3 petani dengan tengkulak.
Kisah pertamaÂ
Seorang tengkulak melihat sawah milik petani, sebut saja Alwi, dia tertarik dengan padi yang hampir menguning dan menyuruh Alwi untuk merontokkan padi pada hari tertentu dengan alasan sekalian dengan sawah sebelahnya.
"Sekalian mesin kombi turun ke sawah sebelahnya, Mas," kata tengkulak kepada Alwi.
Setelah ada kesepakatan harga, sawah milik Alwi dipanen pada waktu yang ditentukan tengkulak.
Namun, ketika tumpukan gabah itu tinggal angkut ke atas truk, Â tengkulak berbalik lidah, gabah itu tidak jadi diambil dengan alasan kurang berisi, tanaman padi kurang umur.
Alwi membawa tumpukan karung berisi gabah ke rumahnya untuk dijemur. Gabah kering itu ditawarkan Alwi ke beberapa calo dan tengkulak. Akan tetapi mereka selalu menolak dengan alasan gabah kurang berisi.
Kurang berisi disebabkan belum cukup umur sudah dipanen. Alwi mengikuti perintah tengkulak pertama. Dengan peristiwa itu Alwi mengalami kerugian besar karena gabah dijual dengan harga rendah "asal laku", itu prinsip Alwi.