Kita mengenal toleransi beragama sejak di sekolah, tetapi mungkin hanya sebatas teori. Teori kita catat, hapalkan menjelang ulangan dan mendapat nilai 90 atau 100.
Ketika terjun ke masyarakat barulah kita berhadapan dengan begitu banyak tantangan. Masyarakat yang heterogen mengharuskan kita menerapkan teori yang sudah dipelajari, yakni toleransi antar umat beragama dan menghargai perbedaan.Â
Pengalaman Toleransi Beragama
Setelah lulus SMA saya hijrah ke Bandung untuk mencari pekerjaan. Selama di sana tinggal bersama salah satu kerabat jauh dari Bapak.
Tinggal di komplek kota besar, kehidupan antar tetangga seperti cuek, sangat berbeda sekali dengan kota kecil saya. Namun, di balik itu sebenarnya mereka saling menghargai. Terbukti setiap ada arisan Rt. warga yang mayoritas keturunan Cina hadir. Kerabat yang saya tumpangi juga terkadang mewakilkannya kepada saya.Â
Dari situ saya mengenal salah satu tetangga, panggilannya Tante Emmi. Dia pengusaha konveksi jaket dan baju.Â
Sambil menunggu panggilan kerja, saya menerima ajakan Tante Emmi untuk bekerja di konveksinya. Dengan berbekal sedikit kemampuan menjahit yang pernah saya pelajari di kursus, saya pun mulai menjahit bagian-bagian jaket, baju. Â
Sebelumnya saya merasa ragu karena kami berbeda agama. Ternyata keraguan itu tak beralasan. Tante Emmi paham kapan waktu salat, puasa dan tahu mana makanan haram dan halal. Bahkan dia sering mengingatkan saya untuk pulang ketika terdengar suara adzan dhuhur.Â
Pernah suatu ketika tiba-tiba anak anjingnya masuk ke ruangan tempat saya menjahit. Dengan spontan saya pun teriak dan naik kursi. Sejak saat itu, Tante Emmi mengurung anak anjingnya jika saya datang. Dia sangat menjaga apa yang haram dan tidak bagi umat muslim.
Kebaikan lain dari Tante Emmi adalah menurunkan ilmu menjahitnya. Jika malam atau hari libur dia sering menyuruh saya datang ke rumahnya untuk belajar cara membuat pola berbagai model baju berikut cara menjahitnya. Setelah baju itu selesai sering diberikan pada saya sebagai kenang-kenangan.