Saya tinggal di desa, desa kami tidak terlalu jauh dari kota hanya membutuhkan waktu 5 menit ke pusat kota dengan memakai sepeda motor.Â
Namun, entah mengapa desa identik dengan pelosok. Hal ini sering saya dengar ketika teman sekolah, teman kerja bertanya, "Kamu tinggal di mana?"Â
Ketika menjawab Desa Sidomulyo, teman bilang, "Pelosok ya?"Â
Apalagi jika tiba-tiba wifi mati, "Salahe milih hidup di desa!"
Hidup di desa itu bagi saya lebih nyaman, bisa bernafas lega, karena masih banyak tanah kosong walaupun milik orang lain. Hehe .. kalau kata Bang Ozy, hidup di desa itu, setiap pagi jika buka jendela disambut matahari terbit.
Tidak benar juga bagi saya, setiap bangun pagi saya tidak membuka jendela, tetapi, langsung ke luar kamar. Begitu buka pintu kamar langsung ruang terbuka dan disambut dinginnya udara malam.Â
Langit masih hitam, belum ada matahari, yang ada bulan dan bintang-bintang. Saya paling suka duduk di dapur melihat bulan yang banyak menyimpan rindu. Seperti rindunya petani menantikan hujan jika kemarau panjang.
Kami sudah terbiasa menghadapi kemarau. Oleh sebab itu jika kemarau kami tidak menanam padi, melainkan kacang hijau atau kacang kedelai. Namun, sudah beberapa tahun ini, ada beberapa petak sawah yang ditanami padi.
Menanam padi di musim kemarau membutuhkan tenaga ekstra, dan modal yang berlipat. Selama tiga bulan, setiap tiga hari sekali harus mengairi sawah dari sumur.
Sekarang telah banyak dipasang sumur dengan memakai listrik, kita tinggal klik saklar, air sudah keluar banyak melalui pipa 4 dim.
Biasanya saya sering ke sawah ngisi pulsa listrik. Malam hari, karyawan atau keponakan ngairi sawah hingga pagi.Â
Akhir-akhir ini ada laporan, kalau di gubuk listrik ada ular kobra, sengaja disimpan seseorang di sawah untuk mengusir tikus. Saya seleh, gak mau ke sawah lagi, takut ularnya kepincut dengan kecantikan saya yang hoak. Hehe ...