"Bagaimana rasanya menjadi seorang ibu yang harus hamil untuk membahagiakan saudaranya? Menahan cinta ketika menyerahkan buah hati pada usia 40 hari, Apakah perempuan tangguh tak pernah mengeluh?"Â Ida NurLaila (Penulis dan Konselor Keluarga)
Kutipan di atas ditulis oleh Bunda Ida Nur Laila, istri dari Pak Cahyadi Takariwan, seorang penulis dan konselor keluarga. Sebuah buku mendapat apresiasi dan diterbitkan oleh wonderful publishing, memiliki kebanggaan tersendiri bagi penulis.
Buku ini bercerita tentang pergulatan hati seorang ibu yang harus menyerahkan bayinya kepada kakak ipar. Kisah ini bukan rekayasa atau imajinasi. Penulis menuliskan sendiri kisahnya sebagai bukti kecintaan kepada ananda. Dia sebenarnya ingin menyalurkan cinta dengan sentuhan, ucapan, dekapan, tetapi, apa daya. Penulis tidak bisa menolak permintaan ibu mertua dan kakak ipar.
Selama lima belas tahun penulis harus menahan derita dipanggil Bu Lik oleh anak kandungnya. Dalam buku ini penulis meluapkan kesedihan, kerinduan, harapan, kerelaan dan keikhlasan menjalani takdir yang sudah ditetapkan Tuhan.
Buku Setangguh Tetesan Rabiah, disusun menjadi 27 bab dengan ketebalan 202 halaman. Bagian pertama ada quote yang menggambarkan kepasrahan, keikhlasan menerima takdir.
"Rencana yang dikendalikan manusia. Pastilah kalah dengan hadirnya takdir Allah."
Selanjutnya, penulis yang pernah mengabdi di Pondok Gontor mengungkapkan "
Anak adalah anugerah, sekaligus titipan pada kita, maka, bekali dan jaga mereka dengan nilai-nilai agama. Hanya dengan doa mereka membuat kita tenang menghadap Sang Khalik."
Bagian selanjutnya, penulis membesarkan jiwa dengan menyerahkan bayi usia 40 hari kepada kakak ipar, "Ya Rabb ... kubagi kebahagian ini karena semua pemberian-Mu adalah anugerah. Aku ikhlas jika takdirku ya Allah ... muliakan anak-anakku."
Selama lima belas tahun, penulis ingin mengungkap rahasia besar ini kepada anaknya, tetapi, selalu mendapat penolakan dari keluarga besar suaminya. Bagaimana perasaan kita ketika menyaksikan anak kandung menangis dan memeluk ibu lain? Harusnya kita yang dipeluk, "Mama, kakiku berdarah," jerit ananda.
Penulis menggiring pembaca meneteskan air mata ketika pada bab selanjutnya. Suami dari penulis meninggal dunia karena kecelakaan. Tepat di depan jenazah dan para pentakziyah, dia mengatakan kebenaran.Â