Dalam membangun rumah tangga, tidak selamanya mulus atau romantis. Keluarga harmonis, keluarga happy bukan berarti tidak ada masalah. Bisa jadi keluarganya penuh gelombang dahsyat. Bisa jadi pasangan penuh dilema. Namun, mereka bisa melewatinya dengan bijaksana.Â
Mungkin pada saat gelombang tsunami terjadi pada keluarganya. Membayangkan menjadi keluarga bahagia atau happy family, sesuatu yang tidak mungkin. Tidak mungkin bukan berarti tidak bisa.Â
Membangun keluarga itu nyata, bukan mimpi. Jadi menjadi keluarga bahagia pun akan nyata, bukan mimpi. Kecuali membangun rumah tangga hanya dalam angan-angan dan mimpi belaka. Menjadi keluarga bahagia pun hanya sebuah mimpi.
Dalam buku Happy Family karya Pak Cahyadi Takariawan tertulis bahwa, "Happy family itu nyata. Mungkin data mengatakan 10% keluarga di Indonesia mengalami kegagalan dalam rumah tangga, berarti ada 90% keluarga yang bahagia. Diluar sana ada data 15% dari seluruh pernikahan berujung perpisahan, berarti ada 85% pernikahan yang baik-baik saja."
Dari data tersebut jelas nyata happy family itu ada. Masalahnya kita masuk golongan yang mana? Apa masuk ke dalam 10% atau 90%?
Menjadi happy family tidak datang begitu saja, harus ada usaha dan kerjasama dengan pasangan. Suami salih, istri salih, insya Allah akan menghasilkan anak-anak yang salih. Suami salih akan membantu istrinya menjadi lebih salih. Istri salih akan membantu suaminya menjadi lebih salih.
Pesan Rasulullah kepada para istri, Fanzuri aina anti minhu, agar memperhatikan sikap terhadap suami, sikap yang baik akan melunakkan hati suami. Sikap kasar akan mengeraskan hati suami.
Untuk Membangun Fondasi Happy Family, ada beberapa hal yang mesti dilakukan, saya akan berbagi tiga hal tentang kebahagiaan;
Keluarga Bahagia dan Keluarga Tampak Bahagia
Ketika baru menikah, saya sering disuguhkan pemandangan yang membuat malu. Ketika melewati salah satu rumah, pasangan suami istri memamerkan kemesraan di teras rumahnya. Tidur di pangkuan suaminya, terkadang suami tidur di pangkuan si istri. Mereka bukan pengantin baru, tetapi sudah cukup lama dan memiliki anak. Saya bukan ngiri, hanya malu saja. Sebagai pengantin baru saya tidak bisa melakukan hal demikian.
Apa saya tidak mencintai suami? Atau suami juga tidak mencintai saya? Ini bukan soal cinta, tetapi etika. Baik itu kata suami, mereka tidak beretika. Kalau saya menganggap itu berlebihan bermesraan di depan umum. Namun, jujur saja saya mendoakan untuk kebahagian mereka dan saya berharap kami pasangan baru bisa mesra hingga akhir hayat, walaupun tidak pernah ditampakkan di depan umum.
Kita juga sering disuguhkan postingan para artis yang pamer kemesraan di media sosial. Tiba-tiba mereka bubar. Pencitraan, kenapa kita harus sibuk dengan pencitraan, pura-pura menjadi keluarga bahagia, padahal hati terluka.
Pak Cah mengatakan dalam buku happy family, "Pasangan yang benar-benar bahagia,lebih disibukkan dengan hal-hal nyata yang menjadi ekspresi kebahagian mereka. Saat makan berdua, mereka hanyut oleh kenikmatan suasana makan berdua, saat menjalankan ibadah, mereka hanyut dalam suasana kenikmatan beribadah."