Sebagai seorang ibu. saya bukan ibu yang sempurna sehingga bisa melakukan semuanya sendiri. Namun, insya Allah akan belajar supaya bisa dirindukan oleh anak-anakku kelak seperti saya yang selalu merindukan Ibu.
Seperti saat Ramadan ini, saya merindukan semuanya dari Ibu. Selama 18 tahun setelah saya menikah dan tinggal dengan suami. Tidak pernah Ramadan bersama orang tua. Banyak yang saya rindukan. Ketika waktunya sahur, Ibu selalu sabar membangunkan putra putrinya. Ketika harus salat terawih berjamaah di masjid, Ibu merelakan mukena bagus untuk putrinya. Dia sendiri memakai yang lusuh.
Seorang ibu tidak hanya dimulai dan diakhiri dengan persalinan. Menjadi seorang ibu itu penuh dengan serangkaian tantangan besar. Mengajari putra putrinya berpuasa, mengaji, bangun malam untuk salat dan sahur. Ketika anaknya enggan bangun untuk sahur, dia rela memotong waktu sahur untuk menyuapi anaknya. Yang penting anak bisa makan sahur. Kesabarannya sungguh luar biasa.
Saya masih ingat, ketika menghadapi awal puasa, ibu selalu sibuk mencari lauk yang terenak bagi anaknya. Daging ayam, itu sudah terasa mewah ketika saya masih kecil. Katanya, "Ini kesukaan anak-anak." Kesukaan anak-anak selalu ada dibenaknya.
Ketika berbuka puasa, Ibu akan menggoreng bala-bala, "Ini kesukaan anak-anak," katanya juga.
Ketika sahur tiba, dadar telur digorengnya dengan bumbu cinta dan ikhlas, "Ini kesukaan anak-anak,"
Semua kesukaan anak-anak disajikan di atas meja. Sementara kesukaannya sendiri tidak pernah ada. Sebagai anak kita tidak pernah bertanya, apa kesukaan Ibu atau Bapak.
Saya juga rindu memasak dengan Ibu. Ketika menjelang puasa, kami memasak sayur sup. Azan Magrib berkumandang. Dengan tergesa saya menumpahkan sayur panas ke dalam mangkuk besar. Tiba-tiba mangkuk itu terbelah dua. Ibu tidak marah, "Bukan rezekinya, biarkan saja!" ujarnya.
Kenapa mangkuk itu terbelah menjadi dua? Ibu tidak memberi alasan berdasarkan teori para ilmuan. Dia hanya menjawab, "Kalau mau menaruh air panas ke dalam tempat beling, taruh dulu sendok atau irus stenlis ke dalam wadah, termasuk membuat teh juga." Itu yang selalu saya ingat.
Begitulah sosok seorang ibu. Sabar dan sabar, tidak ada kemarahan. Walapaun dia marah, tetapi dalam marahnya ada cinta. Cinta yang tidak bisa digantikan dengan ponsel atau sepotong ayam KFC. Cinta yang tidak bisa didelegasikan kepada seorang pengasuh.
Ada ribuan kisah ibu super dalam kehidupan nyata. Mungkin mereka tidak mahir dalam menggunakan ponsel seperti ibu saya. Tidak lihai menulis cinta dalam bahasa ibu di internet, tetapi mereka mampu mendidik anak-anak sesuai ajaran agama.
Ibu yang sukses bukanlah orang yang tidak berjuang, tetapi ibu yang tidak menyerah pada perjuangan. Islam menempatkan pintu masuk Jannah ada di bawah kaki ibu, itu sangat tepat. Karena perjuangan mereka sangatlah berat. Hidup mereka berputar pada poros jadwal anak-anak. Tidur mereka berbanding terbalik dengan jumlah jam tidur anaknya. Pekerjaan binatu menumpuk, piring kotor menumpuk, tetapi mereka tidak pernah kehilangan motivasi. Anak justru sebagai penyemangat hidupnya.
Ramadan, saya selalu rindu apapun menjadi khas Ibu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H