Diary sahabatku yang paling setia mendengar keluh kesah. Paling terbuka menerima kabar duka dan gembira.
Apa kabarmu, perempuan tangguh? Aahh terlihat basa basi menanyakan kabar di tengah pandemi. Walaupun kamu katakan baik, sudah pasti perasaan baik-baik saja disertai dengan ketakutan, kekhawatiran tertular virus Covid-19. Apalagi perempuan yang baru ditinggal suaminya menghadap Allah Swt., tentu tidak ada kabar baik.
Perempuan tangguh, Â Aku tahu, jika tulang punggung rapuh, sakit kronis. Tulang rusuk akan tertusuk. Sakit juga rasanya.
Menahan rasa sakit melihat tulang punggung sakit. Perempuan tangguh akan melakukan apa saja demi kesembuhannya. Mondar mandir ke rumah sakit di tengah pandemi memang bukan pilihan. Namun itu  sebuah keharusan.
Perempuan tangguh tidak boleh rapuh. Tidak boleh menyerah. Itu yang dilakukan adik, sahabat-sahabatku Mak Ruri, Mak Widy, Mak Ellen. Dalam situasi pandemi, pengobatan untuk diri sendiri dan pasangan tetap harus dilakukan.
Aku akan mengambil kisah dan hikmah dari Mak Ruri, adikku tangguh. Kita tahu sakit bukan kehendak. Namun, jika sudah terjadi kewajiban kita adalah berusaha untuk mencari pengobatan. Tawekal, berdoa untuk kesembuhan.
Jika tulang punggung sakit, tulang rusuklah yang berperan mencari nafkah dan pengobatan suaminya. Itulah yang dilakukan adik perempuan dan Mak Ruri sahabatku. Dia perempuan tangguh, di atas kelemahan sebagai tulang rusuk. Harus menjadi kuat mencari nafkah, telaten mencari pengobatan suami, bahagia mendidik anak-anak.
Sedih, cemas menjalani semuanya sendiri, tetapi harus menunjukkan bahagia di depan anak-anak. Sulit memang menyembunyikan rasa di depan anak-anak. Namun, kehadiran anak-anak adalah sebagai alasan kuat untuk tangguh.Â
Ketika semua orang diharuskan di rumah karena pandemi. Perempuan tangguh tetap ke rumah sakit mengantar suaminya berobat. Ketika ibu-ibu lain masih terlelap atau dzikir malam. Perempuan tangguh harus ke pasar sendiri. Ke kantor sendiri. Ketika ibu-ibu lain asik ngobrol dengan tetangga atau salat Duha, perempuan tangguh harus mengantar anaknya sekolah.
Aktivitas itu tidak dilakukan dalam waktu sebentar, tetapi bertahun-tahun. Sudah terbiasa dengan rutinitas ini, ibu tanggung tidak mengeluh. Baginya itu sudah menjadi bagian dari hidupnya yang harus disyukuri.
Di tengah-tengah rasa syukur, perjuangan Ibu tangguh belum selesai. Dia harus menerima kenyataan bahwa tulung punggung dipanggil Allah Swt. Menjeritkah? Tentu. Namun, apa daya. Mereka harus tetap tangguh.