Hai Diary,
Aku ingin cerita apa yang terjadi ketika Minggu pagi di tempat publik.
Seperti biasa, hari Minggu pagi aku selalu olah raga bersepeda bersama Mas suami keliling kampung. Dia sih memakai motor kesayangannya karena belum punya sepeda dengan modifikasi.
Pagi itu aku ingin olah raga ke arah kota sekalian pulangnya belanja sayuran.
"Gak usah bawa sepeda lah, naik mobil saja!" saran Mas Suami.
Ya ... begitulah kalau ke kota Mas suami sering bawa mobil hasil modifikasi. Selain tidak memiliki SIM Motor, jaga gengsi juga, jauh-jauh ko pakai motor roda tiga, tambah satu roda gak masalah juga kan? Sudah ada free atap, bonus tidak kehujanan tidak kepanasan.Â
Begitulah sifat manusia terkadang selalu menjaga penilaian, menjaga citra demi mempertahankan status. Hu-uy pakai sepeda, pakai motor, status tetap "Menikah", maksudnya status sosial. Sebetulnya bukan itu yang jadi permasalahan Mas Suami ke kota bawa kendaraan roda empat.
Aku kasih bocoran ya diary, Mas Suami itu kan difabel tanpa kedua tangan dan hanya memiliki satu kaki kiri saja, nah jika jarak jauh menggunakan motor khawatir hilang keseimbangan.
Memiliki si putih ini juga hasil perjuangan belasan tahun, kita kerja keras menabung demi kesejahteraan keluarga. Walaupun kami keluraga difabel jangan sampai merepotkan orang lain, kita harus benar-benar mandiri.Â
Namun sayang, sebagian orang berpikir kalau difabel itu menyedihkan, harus dikasihani, selalu meminta. Misalnya saja waktu Minggu pagi, ketika olah raga di taman, Mas Suami keluar dari mobilnya dan berdiri menyandar di pintu.
Dari jauh sesekali aku melihat Mas Suami yang selalu setia mengantar olah raga.Â