Ini pemandangan baru bagiku, ketika menghadiri acara tasyakuran. Panggung hiburan diisi oleh ibu-ibu komplek, mereka silih beganti menyanyikan lagu sesuai selera dan jiwa mereka. Bahagia terlihat dari tawa ibu-ibu tersebut. Di sudut lain ada seorang ibu duduk menyaksikan teman-temannya bernyanyi. Dia sangat menikmati posisinya dengan kedua tangan di antara perut, namun mukanya tidak setenang posisi duduknya.
"Tidak ikut teman-temannya bernyanyi, Bu?" tanyaku hati-hati.
"Saya ingin menikmati duduk, kalau nyanyi dan teriak, di rumah sebentar lagi akan aku lakukan terhadap anak-anak." Dia melirikku dengan senyum hambar.
"Seandainya Tuhan tidak merancang pernafasanku, mungkin saat ini aku tidak bisa bernafas, karena kelelahan mengurus anak-anak dan rumah," gumamnya.
"Betul, Bu," jawabku lirih.
Saya merasakan apa yang ibu ini rasakan. Sebagai ibu dari dua anak, dan suami disabilitas, tanpa asisten rumah tangga, sangat melelahkan. Bersyukur saudara suami rumahnya berdekatan, jika ada aktivias ke luar kota, kami bisa menitipkan anak-anak kepada budenya.
Banyak perempuan yang merasa terjebak dengan status isteri, ibu, dan nyonya rumah. Terlebih jika mereka dituntut suami untuk berperan sempurna. Dengan rutinitas harian yang sama, tak jarang mereka tidak sempat memperhatikan kebutuhan dirinya, jiwanya dibiarkan kosong tanpa ilmu, dan agama. Ketika terjebak dengan rutinitas yang semakin menghimpit, ibu akan merasa tertekan (burnout), frustasi, bahkan bisa menjadi defresi.
Leni Cahyani Pertiwi, dalam bukunya berjudul Happy Mama, menjelaskan, betapa penting pendidikan terhadap perempuan. Ketika mendidik seorang pria, maka yang akan terbentuk adalah sebuah individu. Namun, ketika mendidik perempuan, maka akan melahirkan sebuah generasi, membangun peradaban. Generasi yang dicetak oleh ibu tangguh akan menghasilkan generasi kokoh dan berakhlak.
Pendidik paling awal dari sebuah generasi adalah ibu, karena seorang ibu memiliki intensitas kebersamaan paling tinggi dibandingkan ayah. Terutama pada awal pertumbuhan anak. Di mana periode ini disebut periode emas.
Billy Graham pernah menuliskan; "Para ibu harus menumbuhkankembangkan jiwa mereka, agar pada gilirannya nanti mereka bisa menumbuhkembangkan jiwa anak-anak mereka." Artinya seorang ibu memiliki hak untuk memanjakan diri sendiri dengan berbagai ilmu, ini bukan suatu keegoisan. Ibu bahagia dan memiliki banyak ilmu, akan menciptakan keluarga yang bahagia.
Kebahagian, Cahyadi Takariawan dalam buku The Butterfly Effect, menjelaskan, ada tiga hal kunci kebahagia, yakni; spiritual, sosial, mental.