Mohon tunggu...
Sri Raditiningsih
Sri Raditiningsih Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa aja

Kita engga akan pernah tahu sebelum kita benar-benar mencobanya bukan? Instagram : @sriradii Twitter : @Sriradii

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ibuku Berbeda

21 Mei 2020   08:09 Diperbarui: 21 Mei 2020   18:39 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SETIAP kali membayangkan tentang Ibu pasti akan membuat hati bergetar. Teringat kembali pelukan hangat yang di sertai nasihat lembut di kala hati gundah. Senyum ramah saat pergi ke sekolah, dongeng malam menjelang tidur.

Setidaknya begitulah yang dirasakan oleh banyak anak saat sedang mengenang tentang sosok ibu, tapi tidak denganku, tidak banyak memori indah yang kumiliki dengan ibu.

Ibuku memang sosok pekerja keras, apapun akan ia lakukan demi bisa membantu keluarga. Ayahku hanya seorang buruh, yang tak menentu penghasilannya. Jadi mau tidak mau Ibuku harus menjadi sosok yang serba bisa.

Harus bisa mengatur keuangan yang sebenarnya sering kurang untuk hidup sehari-hari, tentu saja itu bukan hal yang mudah. Karena hal itu juga yang membuatku tak banyak memiliki kenangan indah bersama Ibu. Sebab ibuku terlalu sibuk melakukan berbagai hal untuk sekedar bertahan hidup.

Aku kira dulu aku cukup mengerti dengan kondisi itu, aku fikir aku tak masalah dengan hal itu toh Ibu tetap ada bersamaku. Hingga pada suatu hari, Ibu pergi meninggalkan aku beserta adik dan juga ayahku.

Saat itulah aku sadar ternyata aku tidak baik-baik saja, aku ingin memiliki sosok Ibu seperti ibu pada umumnya. Ibu yang selalu mengantar anaknya saat hari pertama ke sekolah, ibu yang selalu memanggil "sayang" saat meminta bantuan kepada anaknya, dan masih banyak hal yang lainnya.

***
Kalau boleh jujur, saat pertama kali tahu ibu pergi dari rumah, aku tidak larut dalam kesedihan. Aku termasuk anak yang santai akan hal itu. Lagi pula sebelum pergi ibuku memang berkali-kali bilang

"kalau mama nanti pergi kerja yang jauh, kamu jagain adik-adik kamu kaya mama dulu jaga kamu ya"

Aku anggap itu sebagai kode bahwa ibuku akan pergi, ditambah keadaan rumah tangga orang tuaku memang tidak bisa dikatakan harmonis, selalu ada pertengkaran setiap harinya. Setidaknya dengan kepergian ibu aku tidak lagi  mendengar pertengkaran mereka.

Tapi ternyata aku keliru, tanpa sadar aku membenci ibuku. Aku diminta untuk menjaga adik-adikku sedangkan aku merasa selama ini tak pernah dijaga dengan baik olehnya. Ibu selalu sibuk dengan urusan bertahan hidup, seolah melupakan bahwa aku adalah anak yang memerlukan pelukan dan kasih sayang darinya.

Aku dipaksa oleh keadaan menggantikan sosok ibu di rumah, semakin aku berusaha semakin aku marah pada ibu. Aku sering merasa hidup ini tak adil. Aku larut dalam kebencian, semua hal baik yang pernah ibu lakukan untukku seakan hilang dari ingatanku.

***
Setelah bertahun-tahun menghilang, akhirnya aku mendapat kabar tentang ibu. Ibuku pergi untuk bekerja, mencoba mencari kehidupan yang lebih baik diluar sana, meskipun harus jauh dari anak-anak yang sudah ia lahirkan. Mengetahui keberadaan ibu, responku biasa saja, tak ada rasa lega atau bahagia. Semua benar-benar hambar.

"Mama mau ketemu sama kamu, kita ketemuan ya" pesan masuk ke handphoneku

Saat membaca pesan itu aku bimbang, untuk apa aku bertemu. Kan dulu aku ditinggalkan. Tapi untuk bilang tidak pun aku tak mampu, ternyata ada rasa rindu yang tak ku sadari. Wajar memang, bagaimana pun aku tetaplah anak ibu.

Akhirnya aku memutuskan untuk bertemu dengan ibu walau aku tak tahu apa yang akan aku katakan padanya. saat pertama kali melihatnya aku bingung bagaimana harus bersikap. Tak ada pelukan sama sekali, yaa sejak kecil rasanya sangat jarang aku dipeluk oleh ibu. Ibu bukan orang yang bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan, sama sepertiku.

Kita terlibat obrolan-obrolan ringan, ibu menanyakan kabarku dan adik-adik dirumah. Aku menjawab tanpa berani menatap matanya.

"Kaki mama kenapa?" Aku melihat ada bekas luka di kakinya

"Oh ini, waktu itu mama pernah jatuh pas lagi kerja, patah tulang tapi sekarang udah gak apa-apa"

Aku hanya mengangguk tapi tak tahu harus bersikap bagaimana. Pertemuan itu memang tak lama dan sangat kaku. Tidak terlihat seperti pertemuan ibu dan anak yang saling merindukan. Mungkin saat itu ibu merasa sangat bersalah telah meninggalkanku, sedangkan aku memiliki rasa marah dan rindu secara bersamaan.

Pertemuan itu hanya 30menit, aku melihat ibu pergi lagi, aku pun harus pulang ke rumah.

Dalam perjalanan tiba-tiba air mataku jatuh, hatiku rasanya sakit sekali saat mengingat cerita tentang  luka yang dimiliki ibuku.

Aku membayangkan bagaimana sakit dan kesepiannya ibu selama ini hidup sendirian. Semua harus ia rasakan sendiri sebagai penebus karena telah meninggalkan anak-anaknya.

***


Bagi kebanyakan orang  hari raya adalah moment untuk berkumpul di kampung halaman. Tapi tidak untuk keluargaku, sejak dulu aku terbiasa merayakan hari raya hanya dengan keluarga kecil. Rasanya jarang sekali aku pulang kampung, terlebih setelah kepergian ibu dari rumah.

Hingga suatu hari, aku beserta adik-adikku dan ayahku harus pulang kampung karena ada hal yang harus diselesaikan.

Ternyata disana sudah ada ibuku, itu merupakan pertemuan keduaku dengan ibu setelah waktu itu. Aku masih saja kaku, namun kali ini aku mau menemani ibuku saat ia minta ditemani. Mulai dari makan bakso bersama, hingga pergi ke pasar.

Saat di pasar ibu menawari apa yang ingin ku beli. Tapi aku hanya menggeleng sebagai tanda tak mau. Akhirnya ibuku berhenti di tukang kue, kue sagu berwarna-warni yang disebut kue cenil. Ibu membeli kue itu tanpa aku minta.

"Dulu waktu kecil kamu suka banget sama kue ini, setiap mama ke pasar pasti kamu minta beliin cenil. Nih sekarang mama beliin yang banyak buat kamu. Kamu juga suka banget anggur, mau beli anggur juga ga?"  ibu mengulurkan kue kesukaanku sambil tersenyum.

Melihat senyumnya yang begitu tulus membuat dadaku sesak sekali.

"Ma, maafin aku yang selama ini membenci mama" ucapku didalam hati

***

Kini aku semakin dewasa, tak hanya umurku yang bertambah. Cara pikirku pun banyak berubah.

Hubunganku dengan ibu belum sepenuhnya membaik seperti hubungan ibu dan anak pada umumnya. Tapi kini aku benar-benar mencoba untuk memaafkan segala kesalahan ibu.

Bagaimana pun ibu tetaplah ibuku. Orang yang telah mengandungku selama 9 bulan lamanya,  dan orang yang merawatku meski akhirnya ia tinggalkan.

Setidaknya sekarang aku mampu mengingat moment indah bersama ibu yang dulu sempat tertutupi oleh rasa marah dan benci. Ternyata ibu pernah memanggilku dengan sebutan sayang, meskipun itu saat aku kelas 2 SD.

Dan ibu adalah orang yang rela tidak makan sepotong ayam goreng karena ibu tahu aku begitu menyukai ayam goreng.

Sekarang aku menyadari, tak ada ibu yang benar-benar bisa meninggalkan dan melupakan anaknya.  Dan sebenernya tak ada sosok orang tua yang sempurna, setiap orang tua selalu mencoba melakukan yang terbaik untuk anaknya, terlebih seorang ibu meski kadang tanpa sadar hal itu membuat lubang di hati sang anak.

Pun sebaliknya, sebenci apapun anak terhadap ibu tapi jauh di lubuk hatinya tetap ada ruang yang tidak akan pernah bisa tergantikan oleh siapa pun dan apapun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun