Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Islamofobia di Bali

2 Juli 2016   20:13 Diperbarui: 2 Juli 2016   20:42 2067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Logikanya, jelas saja orang Hindu Bali yang notabene diberikan lebih banyak lapangan kerja dan tetap dihormati serta dihargai adat istiadat serta ajaran agamanya akan lebih memilih bangsa asing ketimbang investor Muslim yang menggunakan konsep Syariah yang dikhawatirkan akan menuntut pegawai Hindunya berjilbab atau bahkan tidak mengizinkan pegawai dengan agama yang berbeda untuk berkerja di perusahaannya.

Sebenarnya dalam ajaran agama Hindu, kami pun memiliki ajaran Sad Ripu yang merupakan 6 musuh dasar manusia yang salah satu diantaranya adalah Mada yang artinya mabuk akibat konsumsi minuman keras yang berlebihan yang juga dianggap haram dalam Islam, akan tetapi saya merasa bahwa penjelasan diatas adalah salah satu alasan mengapa selama ini pemerintah Bali memutuskan untuk tetap berkompromi dan mengambil keuntungan dari penjualan alkohol.

Kemudian contoh yang kedua adalah bagaimana di Bali ini adanya persaingan dengan banyak pendatang dari Jawa dan daerah lain di Indonesia yang memiliki usaha kecil seperti dagang sate, dagang pecel lele, sol sepatu, buruh bangunan dsb.

Saya memang melihat dan mengakui bahwa para pedagang ini memang memberikan kontribusi sewa bagi pemilik bagunan dan keberagaman makanan bagi kami warga Bali, tetapi walaupun saya tidak memiliki data statistik resmi yang bisa mengkonfirmasi dugaan saya, saya pernah berbicara dan mendengar bagaimana usaha mikro ini tidak selalu dibebankan pajak oleh karena diduga pendapatan mereka di bawah rata – rata sementara ada banyak cerita bahwa di kampung halaman mereka, mereka mampu membeli tanah atau rumah sendiri yang harganya masih lebih rendah dibandingkan dengan pulau kami.

Nah, jika dibandingkan dengan banyak orang Bali yang walaupun bekerja di tempat yang hotel atau restoran mewah tetapi dengan gaji UMR yang tidak terlalu tinggi dan diwajibkan membayar pajak pendapatan setiap bulan tetapi belum tentu bisa membeli rumah sendiri sehingga sering harus berebut harta warisan dengan sanak saudaranya sendiri daripada tinggal di jalan atau di kos, tentu saja hal ini berpotensi menimbulkan rasa iri yang terkadang dilampiaskan dengan sikap diskriminatif dan rasis.

Ditambah lagi saat mereka harus menggunakan penghasilan mereka tersebut untuk pendidikan anak dan kegiatan adat dan keagamaan yang sering menimbulkan beban finansial dan tekanan psikologis terutama jika mereka merupakan anggota sebuah banjar dengan aturan  yang saklek yang mengancam bahwa jika mereka tidak berpartisipasi secara aktif, mayat mereka akan diterlantarkan.

Hal ini terutama dirasakan oleh anggota masyarakat dengan pendidikan dan penghasilan yang rendah yang bahkan sering harus gali lubang tutup lubang untuk memenuhi aturan ini karena memang mengandalkan bantuan anggota banjar lainnya saat menyelenggarakan upacara keagamaan mereka.

Situasi ini terasa lebih berat oleh karena mereka harus bersaing dengan sumber daya manusia asing yang bekerja secara legal dan ilegal yang sering dihargai lebih tinggi dan terbukti tidak selalu membayar pajak.

Beberapa kali saya membaca di media asing tentang bagaimana warganegara Australia, New Zealand, dan Inggris terutama generasi mudanya sudah semakin tidak mampu membeli rumah di negara mereka sendiri dan mereka menjadikan Bali sebagai sebuah alternatif oleh karena harga tanah dan biaya hidup yang lebih murah apalagi ditambah  dengan sudah makin banyaknya pengusaha Jakarta yang berinvestasi di Bali yang saya duga telah menyebabkan banyak masyarakat Bali makin merasa tersisih dan eksistensinya semakin terancam.

Ironis sekali bukan bahwa dengan kemajuan pariwisata dan semakin tingginya jumlah wisatawan yang berlibur ke Bali setiap tahunnya, pedagang pecel lele yang punya warung di jalan bisa beli rumah di kampungnya sementara banyak anak muda Bali harus menjadi babu lagi di kapal pesiar (secara kasarnya) untuk bisa membeli rumah di pulaunya sendiri.

Kalau misalnya anak – anak muda Balinya bekerja di Jawa misalnya dengan melakukan pekerjaan yang banyak dilakukan orang Jawa di Bali, apakah dijamin mereka akan bisa mendapatkan pendapatan yang memungkinkan mereka membeli tanah disini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun