Dahulu, tanah ini lahan kelapa sawit milik kakek
Di sudut sana, aku tidur di bale bambu dalam pangkuan nenek.
Kata nenek, tanah ini akan menjadi kota
Dan bale ini akan menjadi panggung sandiwara.
Aku tidak mau, kataku
Tidak ada yang boleh merampas tanah kelahiranku.
Tapi kenyataan berjalan begitu
Desa menjadi kota yang penuh peluh
Dengan gedung berlomba-lomba paling tinggi
Serta jalanan yang tercekik macet penuh polusi.
Musnah lahan kebun dan sawah
Berganti hotel dan restoran mewah
Hilang beribu pohon yang rindang
Berganti lampu jalan yang menyerupai bintang.
Sehari berakhir
Matahari akan menggelincir
Menyambut kota yang berwajah Lelah
Yang harinya berisi banyak marah.
Untuk kakek nenek yang lebih dulu dipanggil Tuhan,
Disudut kota ini, aku menulis pesan
Pesan berisi tentang tanah yang hilang
Dari cucu nya yang merasakan malang
terpaksa tinggal di kota yang sebenarnya janggal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H