Dengan segudang prestasi yang dimiliki calon suaminya, lantas tak membuatnya besar kepala. Atma terus memberikan semangat untuk terus berjuang meraih apa yang Nana inginkan.Â
Sejak dulu, memang Nana bertekad untuk menjadi dosen di UI. Kedua pasangan ini saling mendukung dalam berbagai hal. Hingga pada satu titik nol, Nana merasa sudah menyerah untuk mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi negeri.Â
Sudah 9 tahun ia berusaha untuk hal yang mungkin bukan menjadi garis takdirnya. Meski terkadang, secara manusiawi Nana merasa iri dengan keberhasil Atma, ia berbesar hati untuk merelakan impiannya kandas begitu saja. Ia memutuskan untuk fokus mengurus Atma sebagai pendamping hidupnya kelak. Nana memilih untuk menuliskan namanya di Undangan Pernikahan bersama dengan Atma Wijaya.Â
"Andai saja, surat ini datang lebih dulu" ujar Nana dalam hati.Â
Ketegangan syarafnya telah mereda. Setelah ia tanggalkan egonya kedalam inti bumi. Tangannya yang gemetar, dengan penuh keyakinan membuka lagi surat itu. Surat yang selama 9 tahun ia nantikan.Â
Tak pernah disangka jika kehidupan sepelik ini. Ia hanya menatap dengan penuh keyakinan, jika garis takdirnya adalah menjadi madrasah terbaik bagi anak-anaknya kelak. Bara api didalam  dadanya membakar secarik surat dari negara. Ia mengubur hidup-hidup impian yang sejatinya telah redup.Â
Tepat H-1, dini hari kian dingin. Nana masih memperhatikan dirinya dengan bara api yang membara menuju Jerau. Dengan gaun putih yang mempesona dan ronce melati, Nana memperhatikan dirinya begitu lekat dan semakin dalam. Ia menyambut bahagia yang berbeda.Â
Bahagianya menjadi bagian dari langkah kesuksesan calon suaminya menjadi Guru Besar. Hingga kata "SAH" diucapkan oleh para saksi. Riasan gaun putih menjadi saksi hidupnya kata SAH.Â
Menjelang resepsi, gaun putih ditanggalkan berganti Jerau yang memukau. Tangisnya tak terbendung saat memperhatikan Atma berganti Jerau, Nana seakan bercermin pada sosok yang berbeda. Nana adalah Atma, Atma adalah Nana yang terpaut didalam Jerau.Â
Salam,Â