Setiap perjalanan waktu ini akan terus kurasakan rindu yang terus menerjang. Semakin ingin pergi semakin menerjang jauh lebih tajam. Dihimpit oleh kerasnya ego yang berkali-kali menghantam. Keadaannya sangat berbeda dengan masa silam waktu kedatangan pagi menuju petang. Hingga kedatangannya menjatuhkan lara yang kian memekik telinga. Disampaikan semilir hembusan angin yang berbicara menyakitkan. Mereka sudah pergi bersama dengan ribuan prajurit perang menuju pagi yang tak lagi bergeming ketika diceritakan tentang embun. Langkah kaki dan suara senapan sudah lama menerjang waktu. Amarahnya tak kunjung mereda setelah butiran peluru itu jatuh di badan kuda mereka yang gagah. Mukanya semakin gahar karena amarah bukan pesona. Amarah ini adalah bagian dari doa kaki-kaki yang sudah berkali-kali menginjakkan tanah di tempat anarki. Keamanan mulai muram durja diterpa bencana. Kesendirian mengabarkan waktunya untuk istirahat dengan tenang.Â
Dari kejauhan ada sebongkah gunung yang siap dijadikan kerabat terbaik mengejar mimpi yang masih kosong. Dengan kesadaran penuh, ia pakai topeng penghias dunia yang penuh warna. Kelengkapan ini yang menjadikan mereka semakin terwakilkan dengan keadaan nyata atau semu yang memudar menjadi ada. Sesekali mereka meringis, merasakan sakit tetapi tak sanggup disampaikan. Mungkin mereka akan mendengarkan elegi yang paling romantis sejagad raya. Elegi yang selalu dinanti bagi penikmat perjalanan hidup yang berimbang. Pertautan kedua hati yang masih menjadi cahaya mewujud nyata. Tertawanya akan berganti menjadi kata sambutan yang ramah. Ditemui keadaan yang membuncah penuh gairah menyaksikan kemerdekaannya kembali sumringah.Â
Salam,Â
Sri PatmiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H