Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Sri Patmi: Jejak Mesiu

15 Juli 2021   20:37 Diperbarui: 15 Juli 2021   20:56 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hawa malam ini masih sangat dingin. Bulu kuduknya semakin merinding bersama dengan lantunan nada yang datangnya dari jauh dibawa oleh angin. Ketakutannya mulai mengembang sebesar biji jagung yang dibentuk menjadi popcorn yang renyah tapi tak pernah mengenyangkan. Sepertinya itu bukan takut yang biasa melainkan ketakutan karena dikejar ambisinya yang tak pernah bertepi. Seiring dengan berjalannya waktu, Antoni terus mengikuti alunan nada yang terasa jauh. Padahal jauh tetapi ia masih bisa mendengarnya. Lambat laun suaranya lirih dimakan oleh angin. Semakin lama pendengarannya semakin sayu seperti akan tertidur karena mengantuk. Sudah dari lama dia memandangi suara yang ia dengar barusan. Memang kedengarannya seperti sinting, si Antoni ini. 

Setelah berjalan beberapa langkah dari ruangan ini, raganya tak sanggup lagi bergerak. Dihadapannya ada jenazah perempuan yang ia sayangi, Aisyah namanya. Menetes air matanya tumpah ruah membasahi bumi. Selama ini, ia hanya mengharapkan keberadaan Aisyah jelas. Rasanya bercampur aduk dengan rasa bahagia, sedih dan kedukaannya yang mendalam. Antoni tak pernah tahu bedanya kebahagiaan dan kesedihan yang saat ini ia rasakan. Kekakuan raganya kembali mencair, ia memeluk jenazah Aisyah. Tetesan air matanya terus buncah. Berharap gerak nadi itu masih sama dengannya. Berharap detak itu masih sama dengan detaknya. Berharap rasa itu masih sama dan tak pernah mati meski kini telah terpisah dalam dua dunia.

Semakin dalam tatapannya semakin teduh. Menerima kenyataan pahit yang harus ia terima. Antoni menggendong jenazah Aisyah keluar dari ruangan pengap ini. Ia masih berjalan dengan langkah gontai. Ia kenakan sepasang sepatu dan gaun cantik untuk Aisyah. Memandangi kecantikannya yang masih memancar alami. Bicaranya mulai ngawur, mengingat masa peperangan yang tak pernah terjadi didalam hidupnya. 

Sepucuk surat berwarna merah diikat dengan tangannya. Antoni hanya termenung keindahan tubuh yang tak lagi menari dan bernyanyi dibawah rintik sang hujan. Berceloteh bersama dengan nada kesendirian apabila malam telah tiba. Menggaungkan nada kemanusiaan pada manusia yang bukan manusia. Berjalan dengan langkahnya mengurus banyak manusia. Mesiu itu masih bersarang dijantungnya yang memerah. Bekas lukanya masih terlihat jelas meski sudah diganti dengan gaun yang cantik dan anggun. Perjalanan Aisyah usia Aisyah memang lebih panjang dibanding umurnya. Perempuan berusia 22 tahun ini sudah bersemayam dalam tidurnya bersama dengan hantaman nuklir yang terus bergulir. Bau debu yang masih mengantarkan aroma kematian dan peperangan yang belum berkesudahan. 

Salam, 

Sri Patmi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun