Manusia mengenal waktu adalah menunjukkan angka penggalan peristiwa. Waktu menentukan hubungan antarmanusia. Pola hidup manusia dalam waktu dipengaruhi oleh budayanya. Waktu berhubungan erat dengan perasaan hati dan perasaan manusia.Â
Kronemika (chronemics) adalah studi dan interprestasi atas waktu sebagai pesan. Manusia memperlakukan waktu secara simbolik menunjukkan sebagian dari jati diri kita.
Â
Edward T. Hall membedakan konsep waktu menjadi dua yaitu waktu monokronik (M) dan waktu polikronik (P). Penganut waktu polikronik memandang waktu sebagai suatu putaran yang kembali dan kembali lagi.Â
Mereka cenderung mementingkan kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam waktu ketimbang waktu itu sendiri, menekankan keterlibatan orang-orang dan penyelesaian transaksi ketimbang menepati jadwal waktu.
Sebaliknya penganut waktu monokronik cenderung mempersepsi waktu sebagai berjalan lurus dari masa silam ke masa depan dan memperlakukannya sebagai entitas yang nyata dan bisa dipilah pilah, dihabiskan, dibuang, dihemat, dipinjam, dibagi, hilang atau bahkan dibunuh, sehingga mereka menekankan penjadwalan dan kesegeraan waktu.Â
Waktu polikronik dianut kebanyakan budaya Timur, Eropa Selatan (Italia, Yunani, Spanyol, Portugal) dan Amerika Latin. Waktu monokronik dianut kebanyakan budaya barat (Eropa Utara, Amerika Utara, dan Australia).
Penganut waktu M cenderung lebih menghargai waktu, tepat waktu, dan membagi-bagi serta menepati jadwal waktu secara ketat, menggunakan satu segmen waktu untuk mencapai suatu tujuan.
Sebaliknya penganut P cenderung lebih santai, dapat menjadwalkan waktu untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus.
Orang Rumania dan Orang Jepang tepat waktu. Namun, orang Jerman dan orang Swiss lebih ketat lagi dalam menaati jadwal waktu. Ini hanya masalah perbedaan konsep waktu saja. Salah satu negara di Eropa yang longgar waktu adalah Italia. Untuk menunjukkan hal itu, Orang Italia mempunyai ungkapan "Dolce Far Niente" yang artinya "menyenangkan sekali tidak melakukan apapun".
Maka apa yang dinamakan keterlambatan dan toleransi terhadap keterlambatan itu memang bervariasi dari budaya ke budaya.
Kebanyakan bangsa timur memandang waktu sebagai suatu rentang durasi yang tidak terinterupsi, tanpa perubahan yang penting, jadi tidak terobsesi dengan jadwal waktu dan tidak memilah-milahnya secara ketat.
Konsep waktu Indonesia, seperti kebanyakan konsep waktu budaya timur, jelas termasuk konsep waktu polikronik seperti tercermin dalam istilah jam karet. Orang Australia yang sering berhubungan dengan Indonesia di Melbourne menyebutnya elastic time.
Meskipun demikian, Orang Indonesia lebih luwes menggunakan waktu karena praktek polikronik dan monokronik disesuaikan dengan momentum dan keberhargaan suatu peristiwa penting. Misalnya jam karet akan dihindari ketika pertemuan besar dengan para orang besar, proklamasi kemerdekaan dll. Menggunakan pendekatan Erving Goffman, perlakuan waktu pertama disebut panggung belakang (backstage) suatu kelompok (etnik) yang tidak relevan bagi kelompok luar, sedangkan perlakuan waktu kedua disebut panggung depan (frontstage).