Marah dan diamku memang tak pernah ada arti. Tak sehebat medan magnet dan gaya tarik Gunung Salak yang menjatuhkan sebangkai besi luluh lantah berkeping-keping. Tak sekuat Bromo memakan manusia dan hasil bumi lagi kedalamnya. Tak sekeramat tempat suci yang lain waktu sudah bisa mewujudkan apapun segala perintah dari yang bermohon kepadanya.Â
Marahku sebatas riak kecil ditengah kolam susu yang berkabut. Takkan sakit, kau masih bisa melihat jahitan senyumku yang baru selesai kurajut semalam. Meski jarumnya sudah tumpul dan berkarat. Tak ada bekas rontokan karatnya diatas bibirku saat ini.Â
Sudah kusulam juga sebagian dari pakaian yang sangat indah untuk kaukenakan jika letusan dahsyat itu tiba. Dari riak itu semoga kau tak pernah terpancing apa-apa. Karena memang riak itu takkan pernah menenggelamkanmu seperti lava pijar. Takkan mengubah muka dunia seperti yang dilakukan para gunung lain untuk menghanguskan benda setelah itu menjadi subur.Â
Riakku terkadang tenang. Siapapun boleh menceburkan diri kedalamnya dan berenang. Dari percikan-percikannya akan ada gelembang udara yang terkumpul disampingnya. Kau bisa berbuat apapun. Kau bisa berucap kepada dunia ini apapun. Gelembung airku akan menangkap dan menerima. Sekedar untuk menjadi buih agar aku bisa merasakan bernapas. Marahku melankolis.Â
Andai bisa ombak yang hebat. Mungkin bisa saja marahku menciptakan sebuah laguna. Kau tak perlu susah mencari ikan ke laut, karena ikan akan bertandang ke lagunaku. Kau tak perlu menguras samudera untuk membuat garam, mengubah manis dipadukan asinnya agar gurih.Gula dan garam untuk Ramuan untuk perutmu yang saat ini sudah terjadi letupan-letupan kecil yang akan meletus. Sudah kurasakan letupannya meletus muncrat sedikit ke mukaku. Memang panasnya mendera hebat.Â
Aku bukan puncak manikmu yang menjadi mahkota hebat bertengger menggagahkan dirimu. Aku hanya laguna yang terjebak diantara batu karang yang sudah goyang. Dari riaknya akan ada uap untuk menjadi hujan. Melembabkan dirimu dengan vegetasimu. Membasahi manikmu dengan segala bentuk keistimewaan dari hujan.Â
Dari laguna ini, aku bisa mencipta laguna yang memancing paus untuk masuk. Meski tidak muat dan sesak dalam upayanya menembus lubang laguna kecil disekitaran karang. Bukan karena daya tarik laguna yang memancing kemari. Paus itu hanya sekedar ingin memuntahkan sisa makanannnya. Mungkin ia jijik dengan riakku. Kusulap muntahan itu menjadi ambergris untuk mengharumkan aroma kuasamu ke seluruh penjuru dan membuka pundi-pundi bagi dirimu untuk berbagi. Terima kasih telah memancing riak ini dalam laguna.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H