Sudah lama kerinduanku ini ingin buncah. Terbukti ketika aku bertemu dengannya lagi justru putus sudah gairah untuk menahan sebuah amarah. Bukan amarah untuk memaki atau mencaci dengan buruknya perkataan. Amarah yang aku rasakan adalah keinginan untuk menyatukan diri dengan apa yang aku lihat saat ini. Gagah dihadapanku selama ini berdiri sosok penopang tegaknya sumbu inti bumi. Tiang pancang yang menegakkan tonggak berdirinya kota hujan.
Ya... Gunung Salak...
Sedari dulu aku mencintainya. Tanpa alasan aku selalu merindunya, mengaguminya. Pergi kesana seperti sudah menjadi bagian dari pulang ke kampung halaman. Bertemu dengan orang tua, sanak keluarga yang sudah lama kurindu. Sudah menjadi rutinitas yang harus dilakukan orang yang jauh di rantau kembali menetap pada akhir ceritanya.Â
Sudah beberapa kali aku jajaki, terpikir untuk masuk dalam lingkup kehidupan sebagai orang yang berdarah dingin. Dengan segala unsur mistis yang disampaikan dari legenda-legendanya sepanjang masa. Cerita turun temurun untuk menyampaikan keagungan Gunung Salak.Â
Padahal bukan mistisnya yang harus diangkat, Mereka tidak akan pernah tahu jika disana ada sebuah kemuliaan alam yang tersembunyi belum terungkap. Siapa tahu disana ada harta karun yang terpendam atau cerita cinta yang melegenda tak tercatat dalam dunia? Entahlah.. aku tak berani untuk berprasangka apa-apa.Â
Sudah kupastikan kecintaanku terhadap Gunung Salak sudah ada sejak ia tampak gagah dari provinsi yang berbeda saat itu. Padahal disebelahnya masih ada gunung yang lain, ia pun tetap gagah berdiri menundukkan keangkuhan diri.
Coba aku tanya lagi kedalam diriku, apakah hanya Gunung Salak saja?
Iya.. itu jawabnya. Bukan bermaksud mendiskreditkan gunung-gunung lain. Tetapi aku hanya menetapkan sebuah keyakinan jika itu pilihanku meski Gunung Salak tak memilih bersama dengan puncak yang lain.Â
Bisa jadi dia akan memilih Puncak Manik 1 dan Puncak Manik 2. Jika diizinkan beberapa waktu ini aku hanya ingin menetap dipangkuan punggungmu saja dekat tebing yang menjatuhkan besi terbang yang hilang pandangan.Â
Ditengah kabut yang berwarna pekat, aroma khas belerang, selain aroma hujan yang kusuka. Kulewati dengan arah berbeda, kau melambai berulang-berulang.Â
Sekedar memenuhi undanganmu sesaat, aku berhenti didepan tugu tulisanmu "Selamat Datang Di Kawah Ratu" jalur pendakian Pasir Reungit. Sekedar duduk sebentar memandangi dari kejauhan. Ingin tahu apa yang kau hidangkan jika aku kesana, kuajak diri berswafoto dihadapanmu. Berpamitan pergi karena aku juga tahu diri, keagunganmu itu sebesar kekuatan yang menancap hingga ke bagian dalam bumi.