Gendang sudah ditabuh, kapal sudah mulai dekat akan berlabuh. Keriuhan dan keramaian sudah didendangkan para amartha yang menanti para saudagar pulang dari berdagang. Menjajakan kainnya sebagai kain kehormatan. Menutupi malunya yang mulai malu dilihat dunia. Amartha menari kegirangan disambut banyak hujan kerinduan. Maklum sudah berbulan tak bersua. Merelakan cintanya berlabuh di dermaga lain mencari kemuliaan dan penghormatan untuk dibawa kembali kedalam rumah bukan tempat singgah. Penantian itu terjawab dengan napas lega.Â
Para amartha masih melihat raut wajah disinar yang begitu terang. Membawa kemilau kehidupan yang dibagikan ke seluruh penjuru negeri bahkan lautan yang luas pemisah jarak diantara mereka dulunya. Sehelai kain diberikan kepada amartha. Mereka menerima dan memangkunya dengan penuh bahagia.Â
Dirajut menjadi sebuah baju untuk para ratu diatas segala kuasa. Begitu megah kain ini menjulur hingga ke tanah. Panjangnya saja hingga 30 meter. Entah mengapa di pesisir ini harus menjahit kain sepanjang ini. Padahal pesisir pantai tempat yang panas, tetapi mereka menggunakan kain berlapis bahkan panjang hingga 30 meter.Â
Panas tapi memakai kain berlapis ...
Para amartha berjalan di pesisir pantai. Membawa sekeranjang bunga yang ditaburkan di pinggirannya dan karang yang mulai terkikis oleh ombak. Mereka memasukkan sehelai kain, untuk menyumbat lubang air menuju laguna.Â
Mereka akan membuat garam dari rasa asin yang terasing...
Garam ini akan digunakan untuk pesta perayaan sebagai rasa syukur. Kembalinya kehormatan dan kemuliaan bagi para amartha. Menghargai perjuangan untuk menggapai helaian kain yang saat ini menutupi bagian tubuhnya. Tidak sembarangan dilihat oleh mata telanjang. Jika pria melihatnya, ia akan menelanjangi dirinya sendiri...Â
Salam,Â
#narasi  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H