Secangkir kopi hangat masih menemani di pagi hari. Lambat-lambat keramaian dan keriuhan mulai terlepas bebas. Aroma kopi memberi semangat otak untuk bekerja. Mencerna setiap peristiwa yang tak terekam oleh memori otak. Sudah saking penuh, mungkin harus diganti dengan memori yang baru. Memori baru sudah kuisi dengan aspirin pereda nyeri. Selain itu, masih banyak teman yang mengiringi perputaran di kepala ini semakin berkunang. Isoniazid (H), Rifampizin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S), Etambutol (E), lebih parahnya mual menyertai didalam diri.Â
Gejalanya masih sama saja dengan sosok perempuan diseberang sana. Ia masih merasakan rangkaian pengobatan bahkan ditambah dengan suntik obat melalui syaraf. Nyerinya lebih sulit dibayangkan karena obat dan suntik itu masih menginginkan agar nyawa dapat tertolong. Menjalani syariat ikhtiar agar lebih dekat dengan Sang Pencipta-Nya. Mempasrahkan setiap benang doa yang terpintal menjadi gulungan jubah kain emas yang akan dijahit menjadi wujud kebebasan dan merdekanya diri dari rasa sakit yang mendera.Â
Tertidur lagi ia memanipulasi rasa sakit. Menetes buih air dari mata yang terpejam. Bibirnya masih terus bergumam. Bukan ngelindur atau mengigau. Ia masih menangis dalam sholawat. Dalam lemahnya langkah kaki, ia tetap menari. Tetap bertahan berdiri meski harus merintih menangis.Â
Energinya sudah kusut. Segala daya upaya telah tercurah mengharap hidup dirinya dan diriku. Sementara disisi lain, sekeping uang koin perak harus dibagi dua. Supaya bisa mendapatkan dua kesempatan nyawa diselamatkan. Jika sekeping koin perak ini harus dibagi dua, maka sudah tidak berlaku lagi untuk kegiatan transaksional. Karena mereka akan menganggap kami gila, bagaimana bisa sebilah koin perak terbagi dua bisa digunakan untuk menukar racikan obat mujarab dari tabib.
Tanpa disadari, racikan obat itu ditebus. Setiap waktu masih bisa menghirup aroma kesakitan yang belum mereda. Perempuan diseberang sana, memuntahkan cairan merah.Â
Darah yang mengucur lebih deras. Terkuras semua darah dari mulut, hidung dan telinga. Aku menjadi saksi bersejarah itu terjadi. Pecahnya syaraf otak dan pembuluh darah akibat infeksi virus TBC yang sudah resisten didalam tubuhnya. Sudah beberapa waktu ia tak pernah menebus resep, ia hanya membeli napas untuk putri kecilnya.Â
Ya... Aku adalah putri kecilnya. Putri kecil yang masih menghirup udara bebas. Mengepakkan kedua tangan dengan sayap di alam yang lepas. Menikmati hembusan angin yang berubah menjadi energi yang menguatkan setelah kepergiannya. Koin perak itu telah menukar serangkaian cerita berganti dengan rangkaian cerita lain.Â
Hampir setahun lebih, aku menjalani pengobatan supaya tetap mengalirkan napas koin perak dari ibu didalam setiap aliran syaraf dan pembuluh darah. Lelah tetap tertatih, mencari jalanku. Mencoba untuk tetap berdiri meski masih menangis. Batuk yang selalu terdengar setiap pagi, siang dan malam adalah elegi sebelum ia pergi.Â
Maaf... Maaf... Maaf... Aku khilaf! Aku tak mengerti caranya hidup tanpa dirimu, Bu. Sempat berpikir untuk berhenti, karena pengorbanan dan pemberian kasih dari dirimu harus putus sampai disini. Di hari Senin, 14 Mei 2012 pukul 07:00 WIB. Disaat kita masih menikmati secangkir kopi di meja ini.Â
Berbaring tersentak tertawa. Tertawa dengan air mata dihiasi harumnya bunga mawar yang merona bahagia diganti wangi melati dan hiasan lafadz innalillahi wa innailaihi rojiun dikain berwarna hijau. Membawa ragamu berkelana didalam tanah diantarkan oleh kereta Jawa. Menuju kekekalan hidup, berbagi kasih abadi sepanjang masa. Terima kasih atas napas hidup dari koin perak yang seharusnya bisa kita pergunakan bersama, bukan untuk diriku saja.Â
Aku sekarang mengenakan jubah mewah dari pintalan benang emas yang dirajut sedari lama dalam elegi batuk dan napasmu. Berbagi kebahagiaan melalui semangat napasmu yang saat itu terengah-engah menghadapi kerasnya dunia. Memintal ulang kusutnya benang dalam gulungan. Menikmati aroma senja yang menampakkan lembayung jingga. Berbagi tawa, berbagi kebahagiaan, berbagi suka duka bersama dan selamanya. Selamat hari ibu, kini sepanjang harimu adalah hari ibu.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!