Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Artikel Sri Patmi: Maestro Berbagi yang Melegenda

17 Desember 2020   09:45 Diperbarui: 17 Desember 2020   09:53 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertambahnya usia yang sudah tak muda lagi. Bukan pula memasuki senja. Ditengah kedewasaan yang masih belum dewasa. Ditengah kematangan yang masih ranum. Berbagi aromanya saja sudah menyegarkan. Memberikan stimulus positif untuk kehidupan. Selama puluhan tahun, berbagi bukanlah menjadi barang yang tabu. Setiap detik manusia mampu berbagi dalam bentuk dan hal apapun. 

Menjadi sempurnanya manusia telah membagi sebagian dari dirinya untuk orang lain. Seorang ibu, berbagi kebahagiaan dengan kasih tulus kepada putra putrinya. Memberikan darah dan dagingnya untuk menjadikan sosok generasi penerus mempertahankan peradaban manusia. Agungnya peradaban manusia dalam siklus kehidupan ini, menjadikan konsep berbagi semakin kompleks.

Dimana konsep berbagi dipengaruhi oleh kepentingan untuk mencapai tujuan. Menciptakan sebuah pencitraan untuk menyentuh ranah yang berbeda. Pola berpikir manusia pada akhirnya bukan berbagi dalam bentuk sederhananya alam saja. Bercampur aduk dan chaos menjadi konflik kepentingan yang beragam. 

Sudah semestinya keagungan manusia dijadikan kunci dasar dalam sederhananya konsep berbagi itu sendiri. Memberi tanpa pamrih. Kesejatian dari hakikat alam. Pernahkah kita menyaksikan alam menagih janji atas segala pemberiannya terhadap kita? Jika manusia meminta balasan atas segala pemberiannya, sudah pasti kita sering melihat. Bahkan dijadikan sebuah hubungan transaksional dalam bentuk nilai tukar yang saling menguntungkan kedua belah pihak atau salah satunya saja. Sebuah keculasan yang mendarah daging. Alam dikuliti hingga tak bersisa. Dinikmati hasilnya, melupakan keagungan-Nya. Menodai sucinya nilai berbagi, memberi dan menyantuni.

Sosok Pak Direktur masih menjadi simbol agungnya konsep berbagi. Ia tahu jika berbagi adalah bagian dari organ tubuhnya. Bergerak bukan atas dasar perintah otak, melainkan dengan titahnya mengikuti arus alam sesungguhnya. Namun, sucinya kemuliaan berbagi itu hanya mampu dilihat dengan kesucian pula. 

Bukan dengan kamuflase pandangan mata yang kabur karena iming-iming dunia yang tak bergeming. Merasa telah berbagi sehingga menganggap dirinya yang paling suci. Meremehkan sesamanya merasa paling tinggi harkat martabatnya. Itukah konsep berbagi sesungguhnya? Sebagian besar manusia merasakan itu. Merasakan kesucian berbagi, mengangkat kehormatannya melesat tinggi menjadi penderma. Berdiri diatas awan, terlupakan jika bumi adalah tempat berpijaknya. Memandang rendah semua yang ada di bumi.

Kondisi yang sangat ironi dirasakan oleh Pak Direktur. Dimana kesucian berbagi itu akhirnya dimanfaatkan para opportunis untuk mengeruk keuntungan. Ia yang polos apa adanya bukan tak memandang. Percuma bergulat dengan ego pecundang kehidupan. Tak sekalipun ego menghasut dirinya untuk membalas sucinya berbagi dengan kenistaan. 

Justru, hal ini menambah gerak tubuhnya untuk terus berbagi. Ketika ditanya kepada Pak Direktur, "mau pilih berjalan diatas kepentingan atau apa adanya diri saja, pak?" Jawabnya sederhana hanya mengembang sedikit seperti senyum 5 mili miliknya saja. "Selama berjalan pada kebenaran, jalan apapun akan mudah dilalui" 

Atas segala keteguhannya, ia harus terbiasa menerima penghakiman yang ditimbulkan dari pengaruh hallo effect. Pak Direktur bukan orang yang manis-manis saja membungkus dunia penuh intrik dengan bungkusan permen lollipop. Menarik dalam pandangan anak-anak kecil, manis, setelah dikonsumsi dan menjadi candu, lalu tanggal gigi-giginya dan menjadi ompong. Pak Direktur tak segan mempertontonkan sebuah aksi dramaturgi. 

Jika saya mengenal itu sebatas konsep teori, saat ini saya melihat pertunjukan epic dari kehidupan melalui perpanjangan organ diri Pak Direktur. Alhasil, ketika pentas dipertontonkan, banyak yang merasakan itulah dirinya. Semua penonton seakan diberikan sebuah kertas, pena hitam dan pena merah untuk menilai. 

Menjatuhkan setitik tinta-tintanya untuk memandang satu sama lain saling mempertajam pandangan dan menilai. Menilai dirinya sendiri dalam pentas laga, menilai orang lain, menilai lingkungan sekitarnya. Orang yang tak senang, akan merasa muak dengan drama mainan dari Pak Direktur, padahal ia sedang menilai dirinya sendiri yang begitu memuakkan. Secara tak sadar merasa tersingkir dengan sendirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun