Hingga saat ini aku masih tidak mengetahui mengapa ada bola yang terus berputar dihadapanku. Masih saja menggelinding kesana kemari. Diperebutkan oleh sebagian kaki-kaki kecil. Disepak supaya jatuh pada kaki yang tepat. Sudah tepat kakinya tetapi belum tentu tepat ukuran sepatunya. Bisa jadi longgar dan terpental melayang ke udara. Bersama dengan peristiwa hilangnya ribuan serpihan rumput yang dicabik kaki-kaki itu.Â
Sudah barang kali, kita harus mengendorkan urat-urat ketika menegang satu per satu. Kasihan dia, menimbulkan lelah yang tak berkilah. Dari untaian waktunya akan terus berulah. Sudah kumengerti detik demi detik yang dihabisi untuk memakan dan menguliti bola ini hingga grepes. Hilang warna hitam dan putihnya saat ini. Gesekan itu telah membuat dia layu. Akan diganti lagi dengan yang baru. Begitulah yang terjadi dari waktu ke waktu. Aku sudah tahu, jangan kau beritahu! Terkadang keingintahuanku begitu tinggi seperti lesetan bola yang ditendang melayang di udara.Â
Biar sesekali aku menenggelamkan sedalam-dalamnya agar ia timbul ke permukaan air dengan cepat. Bahkan jika bisa akan kumasukkan bola ini dalam palung yang lebih dalam supaya dia bisa melesat ke udara lebih tinggi dari tendanganmu setiap waktu. Tendangan yang mempertontonkan urat syaraf kaki yang kuat.Â
Kaki kekar yang menanti pengukuhan atas diri yang hebat. Hingga disebut sebagai juara bertahan memperebutkan piala bergilir. Begitulah waktu akan terus mengukir. Memanjatkan doa hingga grepes tubuh fisik ini terkikir. Semakin tajam saja seperti benda tumpul yang melaju satu per satu disayat. Supaya tajam ambisimu. Aku hanya masih memasukkan bola itu kedalam air. Hanya sebatas diam, menanti dalam tenang.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H