Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Artikel Sri Patmi: Konyol! Anak-anak Korban Perdagangan Manusia

8 Desember 2020   23:43 Diperbarui: 8 Desember 2020   23:47 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada masa sekolah, tentu kita pernah mempelajari biologi. Salah satu kajian dalam biologi ialah aspek perkembangan makhluk hidup dan ciri – ciri makhluk hidup. Ciri – ciri makhluk hidup ialah begerak, peka terhadap rangsangan (iritabilitas), memerlukan makan (nutrisi), bernapas (respirasi), tumbuh dan berkembang, berkembang biak (reproduksi), adaptasi, regulasi, dan mengeluarkan sisa – sisa metabolisme dalam tubuh (ekskresi).

Salah satu ciri manusia ialah tumbuh dan berkembang. Manusia mengalami masa tumbuh kembang sejak ia dilahirkan. Fase – fase tersebut layaknya sebuah metamorfosis manusia menuju kedewasaan. Mulai dari masa anak – anak, remaja dan dewasa.

Klasifikasi kategori umur, biasanya digunakan untuk mengetahui tahap kembang fase perubahan manusia. Fase anak – anak berkisar pada umur 3 tahun hingga 12 tahun, fase remaja berkisar pada umur 12 hingga 21 tahun, sedangkan dewasa berkisar pada umur 21 tahun keatas.

Menurut psikologi, dewasa adalah periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia dua puluhan tahun dan yang berakhir pada usia tiga puluhan tahun. Ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karier, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak anak.

Menurut Zakiah Darajat (1990: 23) remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.

Haditono (dalam Damayanti, 1992), berpendapat bahwa anak merupakan mahluk yang membutuhkan pemeliharaan, kasih sayang dan tempat bagi perkembangannya. 

Selain itu anak merupakan bagian dari keluarga, dan keluarga memberi kesempatan bagi anak untuk belajar tingkah laku yang penting untuk perkembangan yang cukup baik dalam kehidupan bersama. 

Pengertian anak juga mencakup masa anak itu exist (ada). Hal ini untuk menghindari keracunan mengenai pengertian anak dalam hubugannya dengan orang tua dan pengertian anak itu sendiri setelah menjadi orang tua.

Pengertian anak menurut UU RI No. 4 tahun 1979. Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum pernah menikah. Batas 21 tahun ditentukan karena berdasarkan pertimbangan usaha kesejahteraan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental seorang anak dicapai pada usia tersebut.

Sedangkan pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan didalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokkan dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang normal. 

Pengertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.

Dalam sosiologi, pada masa anak – anak, manusia akan menjalani tiga peran sebagai berikut play stage, game stage dan generalized others.

 Tahap meniru (Play Stage). Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Dengan kata lain, kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini. Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai terbentuk. 

Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang amat berarti (Significant other).

Tahap siap bertindak (Game Stage). Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran.

Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. 

Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks. Peraturan-peraturan yang berlaku diluar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami.

 Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized Stage/Generalized other). Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. 

Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya peraturan, kemampuan bekerja sama, bahkan dengan orang lain yang tidak dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

 Lalu bagaimana kedudukan setiap individu dihadapan hukum dan UUD 1945?

 Rechstaat. Istilah itu tentu sering kita dengar baik dalam pelajaran dilingkungan formal maupun dalam tayangan berita di televisi. Rechstaat merupakan Negara berdasarkan hukum. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum.

 Setiap warga Negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum atau equality before the law. Setiap warga Negara Indonesia berhak mendapatkan perlindungan dan penghidupan yang layak, seperti yang telah diatur dalam UUD 1945.

 Begitu pula dengan penghidupan yang layak terhadap anak dan perlindungan anak terhadap segala tindak kejahatan. Pernyataan tersebut diperkuat dalam UUD 1945 pasal 28B ayat 2 yang berbunyi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Landasan hukum tersebut semakin jelas tercantum dalam pasal 34 ayat 1 yang berisi “Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara”. Pasal 34 ayat 2 yang berbunyi “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”. Dan pasal 34 ayat 3 “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”

 Namun, fenomena yang terjadi seakan memberikan suatu wujud refleksi yang berbeda terhadap penegakkan undang – undang yang berlaku. Terutama dalam hal perlindungan anak. Anak – anak seakan menjadi objek yang rawan terhadap tindak kejahatan. Ketika pemerintah sibuk dengan penegakkan peraturan undang – undang, modus kejahatan terhadap anak semakin crowded dan kompleks.

 Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa pada masa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan. Anak memiliki kecenderungan dan rasa penasaran yang begitu besar terhadap segala sesuatu.

Pada masa tumbuh kembang anak – anak dan remaja, mereka cenderung melakukan imitasi / meniru untuk memenuhi rasa keingintahuan. Hingga muncul suatu istilah “coba- coba?”. “Buat anak kok coba – coba? (Eittss .. itu slogan salah satu brand minyak kayu putih ya? Hehehe )

 Modus kejahatan terhadap anak sangat beragam, mulai dari kasus perdagangan anak, pekerja rumah tangga anak hingga terjadinya proses prostitusi anak. 

Kondisi ini semakin diperparah dengan dugaan penjualan anak sebagai pemuas birahi para lelaki. Bahkan, pelaku adalah pihak kerabat terdekat korban. 

Sungguh kondisi yang sangat ironis. Lagi – lagi, alasan ekonomi yang menjadi faktor pendorong penjualan dan prostitusi terhadap anak. Ini dianggap sebagai jalan pintas yang cepat untuk menghasilkan uang.

 Anak – anak dijadikan sebagai malaikat penolong bagi sebagian orang. Namun, ketika mereka telah terjerumus dalam lingkaran hitam itu, siapa yang akan menolong? Hanya bayangan kelam yang akan ada dalam benak mereka!

 Dalam hal ini, perlu adanya pengawasan dan sanksi tegas terhadap para pelaku tindak kejahatan anak. Selain itu, perlu adanya bekal pengetahuan sedini mungkin. Mulai dari bimbingan dan pengawasan orang tua hingga sosialisasi secara berkesinambungan terhadap lingkaran hitam yang seakan tak berujung.

 ANAK ADALAH INVESTASI DIMASA YANG AKAN DATANG

 Bukan hanya sebagai MESIN PENCETAK UANG bagi sebagian orang 

DENGARKANLAH SUARA HATI KAMI

 “KAMI BUKANLAH MESIN PENCETAK UANG !!!
KAMI BUTUH PERLINDUNGAN DAN KASIH SAYANG,

 KAMI MOHON TEGAKKAN UNDANG – UNDANG

 AGAR BANGSA INI MENJADI BANGSA YANG TERPANDANG … “

 

Suryabrata, Sumadi, 2000. Pengembangan Alat Ukur Psikologis. Yogyakarta:ANDI.

Tempo.co

Kompas.com

Lensa Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun