Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengajaran Pita Suara dan Embusan Napas Ibu untuk Anak

4 Desember 2020   20:59 Diperbarui: 4 Desember 2020   21:23 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ditanya mengapa kita perlu bersekolah? Pasti semuanya menjawab hakikat jika kita sekolah ingin menjadi pintar, menjadi manusia bagi nusa dan bangsa. Jawabannya hanya sesederhana itu. Sederhananya jika ditanya mengapa anak kita perlu sekolah? Supaya menjadi manusia yang lebih berguna dan lebih sukses dari orang tuanya. 

Sekali lagi ditanya, mengapa cucu kita perlu sekolah? Jawabannya akan sama, supaya kehidupannya lebih baik dari keturunan sebelumnya. Secara turun temurun hal ini akan terdoktrin dalam pikiran manusia mendarah daging. Hingga beranak pinak melahirkan jawaban-jawaban yang mengkerucut dan spesifik mendalam. Menggali setiap makna dari hakikat manusia berpendidikan itu sendiri. Mengkaji lebih luas lagi tentang sebuah keilmuan dan harfiahnya kata bersekolah.

Sekolah bukan hanya masalah mendidik, dididik dan terdidik saja. Di sekolah aku juga belajar, di rumah aku juga belajar. Ada PR untuk dikerjakan di rumah. Semuanya mengandung makna yang lebih mendalam. Supaya manusia lebih mengupas lembaran lapisan yang masih belum terbuka dan terlihat intisari manisnya daging buah. Di rumah, peran seorang guru akan berkurang berganti dengan guru sepanjang masa. Sejak ditiupkan ruh hingga akhir mata menutup hayat. 

Manusia ibunya manusia. Ikatan batin telah terjalin semenjak belum mengenal apapun di dunia ini. Hanya diperlihatkan dunia yang berbeda, lintas perjalanan jiwa. Saling menatap dan memperhatikan lingkungan sekitarnya. Merasakan dejavu telah merasa berada ditempat ini, tapi entah kapan. Hakikatnya sudah mengenal, tapi kita terus bergerak berproses. Berpacu dengan semesta yang terus bergerak kian cepat dan menghabisi setiap detik waktu manusia untuk belajar. Belajar siapa dirinya sendiri.

Tuturnya lembut hingga masuk dalam sanubari yang terdalam. Menyentuh bagian terdalam dari sebuah ikatan batin berupa rasa, jiwa dan nurani. Memberikan sentuhan pada manusia untuk bergerak dengan menggunakan gerak rasa, gerak jiwa dan gerak nurani. Bukan tentang sebuah ilmu duniawi saja, beliau telah mengajarkan hal sederhana tentang mengenal kehidupan ini secara harmoni cosmos dan ilmu makrocosmos. 

Jika ditanya siapa ibu? Ibu adalah diriku. Beliau adalah gerak yang sama denganku. Cerminan dari sebuah perangai yang sama dengan perspektif yang berbeda. Aku dan dia berada dalam ruang khusus yang sama. Memandangi sebuah jendela kehidupan. Aku tidak pernah menyaksikan pemandangan ini sebelumnya karena memang ini jauh lebih berbeda. Bukan tentang teori memasak, berdandan atau konsep keilmuan lainnya. Ini tentang caranya memandang dunia ini dengan perspektif yang berbeda.

Dengan pandangan kasat mata, didepanku saat ini jelas tidak ada apapun selain ibuku yang sedang berdiri. Kemudian ia mendekap erat tubuhku dan mengajakku untuk memejamkan mata. Dari kegelapan ini, kami melihat jendela yang sangat besar dihadapanku. Setelah diperhatikan secara seksama, jendela terdiri dari 4 kotak. Aku baru menyadari saat ini, jika ada sisi gelap kehidupan manusia yang tidak dapat dilihat tanpa bantuan cahaya. Dan aku melihat kegelapan ini bersama dengan makhluk mulia disebelahku. Beliau adalah cahaya pertamaku.

Empat kotak dalam jendela kehidupan ini menunjukkan sisi kehidupan manusia yang berbeda. Ibu mengajakku untuk melompat ke salah satu jendela. Jendela pertama ibu memperlihatkan seorang gadis remaja mengenakan ingin mengenakan riasan wajah pada paras cantiknya. Ia mengambil bedaknya dan mengatakan "kamu tetap putri kecil ibu yang cantik dengan segala kecantikan yang memancar kedalam secara alamiah".

Tiba-tiba kami berpindah ke kotak jendela kedua. Gadis remaja yang dibully, gadis itu hanya menatap ibunya dan terdiam. Seketika ibu mendatangi anaknya dan memberikan pelukan hangatnya. Ia berbicara dengan rasanya, terhubung dalam naluri anaknya. Hingga ibu merasakan badannya seperti dipukul-pukul dan membiru. Dengan segala kedewasaan pemikiran, ibu itu tahu apa yang harus ia perbuat. Bergegas ia memberikan yang terbaik dan melindungi anaknya.

Masuk pada jendela ketiga, ada sebuah refleksi. Ibu tua yang menjahit pakaian untuk anaknya. Jahitannya belum selesai, ibu terlalu lelah dan tidur. Saat terbangun, ternyata jahitan itu sudah selesai dan rapi. Sontak hal ini mengundang tanya besar bagi ibu. Siapa yang mengerjakan jahitan ini. Ternyata anaknya yang telah menyelesaikan itu. Sedari kecil, tidak ada yang mengetahui bakat terpendam yang dimiliki oleh sang anak. Berbekal melihat dan sering mendampingi ibunya menjahit, ia mampu menyerap semua ketrampilan menjahit secara tidak disengaja.

Jendela terakhir, cerminan tentang seorang anak yang menggerak-gerakkan kakinya terus menerus. Demam panggung mulai melanda. Ini pentas pertama kalinya dihadapan publik. Atas dukungan dan semangat dari ibunya, ia akhirnya berhasil menuntaskan mandatnya sebagai seorang mayoret pada acara sekolah. Kemampuan memimpinnya keluar setelah ia menjadi seorang pemimpin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun