Pendahuluan
Kanker serviks adalah keganasan yang berasal dari jaringan serviks, meliputi endoserviks dan ektoserviks (Torre dkk., 2015). Kanker serviks merupakan penyakit yang bisa dicegah. Namun penyakit ini masih menjadi salah satu penyebab kematian wanita di seluruh dunia. Penyebab utama kanker dan lesi pra kanker serviks berupa infeksi kronis atau persisten dari satu atau lebih Human Papilloma Virus (HPV) tipe onkogenik atau high risk. HPV merupakan hubungan seksual terutama hubungan seksual usia dini. Sebagian besar infeksi HPV akan pulih secara spontan, namun sebagian kecil infeksi akan bertahan dan menyebabkan lesi prakanker dan menjadi kanker dalam 10-20 tahun (WHO, 2014). Pilar eliminasi kanker serviks berupa vaksinasi HPV, skrining kanker serviks, dan terapi kanker serviks (UNFPA., 2021).
Etiologi, Faktor Resiko, dan Diagnosis
HPV mayoritas ditemukan pada orang yang seksual aktif. HPV tipe 16 dan 18 merupakan tipe high risk tersering yang ditemukan pada kanker serviks invasif. Rata-rata terpaparnya HPV sebelum usia 25 tahun dengan puncak kematian akibat kanker serviks pada usia 40 - 50 tahun. Faktor resiko kanker serviks berupa usia melakukan hubungan seksual pertama kali, multipartner, merokok, herpes simpleks, HIV, seta koinfeksi lainnya, dan penggunaan kontrasepsi oral (Fowler dkk., 2022).Â
Pada stadium dini, mayoritas tidak menunjukkan gejala atau tanda yang khas. Namun, pada stadium lanjut terdapat gejala yang perlu diperiksa lebih lanjut untuk memastikan ada tidaknya kanker. Saat awal, gejala kanker serviks dapat berupa keputihan, pendarahan ireguler pada wanita usia reproduktif, pendarahan setelah berhubungan, pendarahan setelah menopause termasuk perimenopause. Gejala lanjut pada kanker serviks dapat ditemukan gangguan miksi, nyeri perut, nyeri punggung, penurunan berat badan, fistula rektovaginal/ vesikovaginal, pembengkakan kaki, dan sesak napas (WHO., 2014).
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dapat berupa leiomyoma serviks, polip serviks, sarkoma prolapse uterus, vaginitis, eversi serviks, servisitis, abortus imminen, plasenta previa, kehamilan serviks, kondiloma akuminata, ulkus herpetik, dan chancre (Sahu., 2015).
Skrining dan Penanganan Lesi Prakanker
Skrining kanker serviks menurut American society for Colposcopy and Cervical Pathology (ASCCP) dan Society of Gynecologic Oncology (SGO) yang diadopsi oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) mendukung U.S. Preventive Services Task Force (USPSTF) dalam rekomendasi skrining kanker serviks menyarankan skrining dimulai pada usia 21 tahun. Metode skrining dilakukan berupa Pap smear yang dilakukan tiap 3 tahun dari usia 21-29 tahun. Kemudian, pada usia 30-65 tahun dapat melakukan metode sitologi dan tes HPV DNA yang dilakukan tiap 5 tahun atau sitologi saja tiap 3 tahun. Setelah usia 65 tahun tidak disarankan melakukan skrining lanjutan jika terdapat kelainan sebelumnya dan tidak masuk dalam resiko tinggi (ACOG., 2016). Usia di atas 65 tahun dengan skrining HPV positif harus meneruskan skrining kanker serviks.
Skrining untuk deteksi lesi pra-kanker mengikuti sistem Bethesda dengan penilaian lima komponen pada pelaporan Pap smear berupa
- Tipe spesimen: dapat berupa Pap smear konvensional atau liquid-based preparation atau lainnya
- Adekuasi spesimen: menilai kepuasan pemeriksa terhadap sampel yang dievaluasi (ada atau tidaknya endoserviks/ zona transformasi/ komponen lainnya) ataupun ketidakpuasan
- Kategorisasi general: dapat berupa Negative for Intraepithelial Lesion or Malignancy (NILM) atau epithelial cell abnormality (skuamosa atau glandular)
- Interpretasi
- Tes tambahan
Terapi kanker serviks bergantung dari stadium kanker. Terapi stadium IA1 dapat dilakukan konisasi atau histerektomi ekstrafasial (pilihan bila tidak lagi pertimbangan fungsi fertilitas dan dilakukan melalui pendekatan trnasvaginal, laparoskopi, atau laparotomi) bila tidak terdapat faktor resiko intermediet (berupa Lymph-Vascular Space Invasion (LVSI)) atau resiko tinggi (berupa batas tepi sayatan positif yang mengandung sel kanker). Stadium IA1 dengan LVSI negatif cukup dilakukan konisasi, IA1 dengan LVSI positif dilakukan konisasi dan limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis (Akbar dkk., 2020). IA2 dapat radikal dilakukan dengan limfadenektomi, trakelektomi radikal, serta terapi radiasi internal pada wanita yang tidak dapat dilakukan operasi (PDQ., 2022).
Terapi IBI dan IIA1 dapat dilakukan modified radical hysterectomy dan limfadenektomi pelvis dengan atau tanpa sampling kelenjar getah bening aorta dan sentinel lymph node mapping dan dapat dipertimbangkan radioterapi pelvis dengan brakiterapi dengan atau tanpa Concurrent Cisplatin Containing Chemotherapy (CCCT) (Sahu., 2015). Stadium IB2 dan IIB2 dengan ukuran tumor >4 cm. Pilihan terapi berupa radiasi eksterna kombinasi kemoterapi yang mengandung platinum sebagai radiosensitizer berupa cisplatin 40 mg/m2 diberikan setiap minggu secara simultan dan kemudian ditambah brakiterapi serta histerektomi radikal dan limfadenektomi kelenjar getah bening pelvis dan bila perlu dengan kelenjar getah bening para-aorta (Akbar dkk., 2020).
Stadium lanjut lokal IIB - IVA diberikan kemoradiasi sebagai terapi standar. Diberikan radiasi eksterna bersamaan dengan kemoterapi sebagai radiosensitizer. Kemoterapi yang diberikan berupa cisplatin 40 mg/m2 setiap minggu simultan selama radiasi. Pada tempat dengan keterbatasan akses radioterapi, pilihan terapi untuk stage IB2 dan IIB diberikan kemoterapi neoadjuvan diikuti operasi histerektomi radikal. Pada stadium lanjut lokal direkomendasikan brakiterapi pasca radiasi eksterna (Akbar dkk., 2020).
Stadium lanjut IVB dipilih kemoterapi sebagai terapi. Kemoterapi kombinasi berbasis platinum menunjukkan hasil yang lebih baik dibanding hanya cisplatin. Pilihan kemoterapi kombinasi paling banyak berupa cisplatin- paclitaxel (Akbar dkk., 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H