Mohon tunggu...
Sri Nurhidayah
Sri Nurhidayah Mohon Tunggu... -

Seorang ibu dengan 2 orang anak, sedang belajar menulis dan mencintai dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara dan Anak Berbakat Luar Biasa

29 Januari 2016   09:23 Diperbarui: 29 Januari 2016   11:26 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jelang Grammy Awards 2016 yang akan diselenggarakan 15 Februari 2016 di California, Amerika Serikat, ada hal yang istimewa. Pianis jazz belia dari Indonesia, Joey Alexander (12 tahun), masuk nominasi dua kategori penghargaan tahunan industri musik internasional Grammy Awards 2016. Joey adalah musisi pertama dari Indonesia yang menjadi nomine untuk Grammy Awards. Joey yang beruntung karena memiliki orangtua yang memahami bakatnya. Tidak sekadar menemukenali, kedua orangtua Joey memastikan bakat musik anaknya tumbuh optimal. Hari ini di usia belia, Joey telah memberikan kebahagiaan bagi banyak orang dan kebanggaan bagi Indonesia. Bakat Joey telah menemukan tempat terbaiknya.

Tidak banyak anak berbakat di Indonesia yang seberuntung Joey. Anak-anak berbakat di Indonesia belumlah mendapatkan perhatian serius. Jika merujuk Konsep Pola Dasar Umum Penyelenggaraan Pendidikan Luar Biasa (Badan Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, 1980) di antara golongan-golongan anak-anak luar biasa terdapat SLB F bagi anak-anak berbakat. Namun, sampai hari ini keberadaan SLB F ini nyaris tidak pernah terdengar. Pelayanan pendidikan bagi anak-anak di atas normal ini belum memadai, sangat berbeda dengan kelompok anak-anak luar biasa lain yang sudah memiliki sekolah luar biasa untuk kebutuhannya. Penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak berbakat masih dilakukan secara parsial, dan penekanannya lebih banyak pada anak-anak yang berbakat akademis.

Siapa Anak Berbakat?

Tidak terdapat definisi akhir yang disepakati tentang keberbakatan. Keberbakatan yang kerap digunakan di sekolah adalah identifikasi pendekatan Renzulli yang menekankan pada interaksi dari tiga hal, yakni intelegensi di atas rata-rata, kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas. Keberbakatan menjadi kekuatannya, namun kebutuhan anak-anak ini dalam mendapatkan pendidikan yang sesuai kebutuhannya sering kali terabaikan.

Masyarakat umum sering kali berpandangan bahwa anak-anak berbakat dapat berhasil dengan usahanya sendiri. Pandangan ini jelas tidak benar. Pada tahun 1990, Yaumil Achir melakukan penelitian di Jakarta terhadap anak-anak berbakat di sekolah menengah atas. Hasilnya, didapati bahwa 38,7 persen anak-anak berbakat itu tergolong siswa berprestasi kurang.

Jika membaca sejarah pendidikan anak berbakat di Indonesia, beberapa langkah sudah dilakukan pemerintah. Dalam Undang Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 12 ayat 1 bagian c dinyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai bakat, minat, dan kemampuannya. Sebelum hak ini diperoleh, menemukenali bakat anak-anak kita adalah langkah awal. Ada banyak jalan melakukan ini dengan guru menjadi kuncinya. Secara ideal memang profesi psikolog dapat sangat membantu, namun dengan jumlah psikolog saat ini pilihan memberikan pengetahuan pada guru untuk menemukenali keberbakatan menjadi lebih realistis.

Sebenarnya terdapat orang-orang yang memiliki kemampuan menemukenali bakat berdasarkan pengalamannya. Indra Sjafri adalah contoh yang dapat menemukenali bakat olahraga sepak bola yang dimiliki seorang anak. Erwin Gutawa memiliki kemampuan menemukan anak-anak berbakat bidang musik lewat pengalamannya.

Proses menemukenali hanyalah proses awal, tahap pembinaan untuk memenuhi kebutuhan yang akan mengoptimalisasi bakat adalah usaha yang lebih berat. Ketakutan kita bahwa pemenuhan kebutuhan anak-anak berbakat akan menjadikan mereka sebagai kelompok elit, sering kali menutup usaha ini. Padahal, tanpa disadari, ketiadaan pemenuhan kebutuhan anak berbakat sering kali menutup peluang keberhasilan bangsa ini ke depan. Bayangkan, betapa beruntungnya kita, saat anak-anak berbakat olahraga telah ditemukenali dan dioptimalkan potensinya. Juara dunia sepak bola bukan mimpi, bahkan masuk lima besar Olimpiade sangat mungkin. Bayangkan pula, jika keberbakatan akademis dioptimalisasi sejak awal, anugerah Nobel adalah hal yang sangat mungkin.

Yang penting digarisbawahi adalah bahwa pendidikan bagi anak-anak luar biasa berbakat memerlukan komitmen kuat, baik dari segi anggaran maupun konsistensi. Waktunya panjang, dan mungkin baru akan dinikmati generasi berikutnya. Namun, jika kebijakan ini tidak diambil, potret anak-anak luar biasa ini masih seperti sekarang. Hari ini, di berbagai sudut negeri ini terdapat anak-anak yang merasa bosan dan terpaksa bersekolah. Bukan karena malas, melainkan karena kebutuhan mereka yang terabaikan.

Inilah satu hal yang perlu diperhatikan oleh negara, dalam hal ini pengambil kebijakan di jajaran Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah. Mudah-mudahan tahun ini Kementerian lebih peduli terhadap anak-anak berbakat ini, anak-anak luar biasa yang mungkin akan menjadi penerang generasi mendatang. Jangan sampai bakat anak-anak hebat Indonesia seperti Joey Alexander justru dimanfaatkan oleh dan untuk negara lain, atau malah terbuang percuma begitu saja di sini.

*Dimuat di Harian Republika, kolom Opini pada 23 Januari 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun