Penyakit hari ini bagi para pendidik adalah kemalasan untuk beralih dari zona nyaman. Menggunakan sistem operasi baru, yang sebenarnya tidak banyak berbeda dengan sistem operasi bajakan yang banyak digunakan di sekolah sekarang. Sebenarnya bagi para siswa, tidak pernah ada masalah untuk menggunakan Linux dan tidak membajak. Siswa-siswa kita adalah digital natives yang tidak memerlukan buku manual dalam berinteraksi dengan laptop dan komputer. Anak-anak ini betul-betul ‘just do it’ tanpa meributkan prosedur. Para guru (utamanya Guru IT) yang memaksa anak-anak kita menyelesaikan tugasnya dengan software berbayar. Jika diumpamakan, seperti belajar menjadi fotografer, guru memaksa siswa menggunakan kamera merek tertentu, bukan mengajarkan prinsip dasar dan teknik memotret. Bahkan yang terjadi sungguh naif dan menyedihkan: misalnya saat pelatihan desain grafis, diawali dengan bersama-sama menginstalasi software bajakan! Teladan para pendidik untuk berlaku curang, tidak peduli terhadap legalitas, menjadikan Indonesia terkenal dengan pembajakannya.
Oleh karena itu, bicara soal antikorupsi, para guru bisa mengawal dari tindakan nyata dan dari diri sendiri. Mulai dari lingkungan sekitar dengan penuh kepercayaan diri menanamkan kejujuran dan tidak ada pembenaran atas kecurangan. Dan menolak korupsi bagi pendidik bisa dimanifestasikan dengan langkah ini: berhenti membajak. Berhenti mengajak diri dan anak-anak didik berbuat curang. Dari sini anak-anak tercinta bisa lantang dan jujur berkata, “Saya anak Indonesia antikorupsi!”
*Dimuat di Harian Repubika kolom opini, 31 Desember 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H