Kemampuan sebuah negara mungkin bisa jadi hal yang dibanggakan. Karena negara itu akan dianggap sebagai negara yang produktif. Selain itu, negara tersebut juga bisa dianggap sebagai negara yang mandiri. Karena bisa mencukupi kebutuhannya sendiri, bahkan memasok kebutuhan negara lain.Â
Terlepas dari kebanggaan tersebut, prinsip yang harus dipegang teguh adalah, ekspor harus menguntungkan negara. Bahwa yang dikejar dari eksportasi adalah keuntungan bagi si negara, bukan sekadar kebanggaan. Karena yang dimakan oleh warga dari negara tadi adalah keuntungan, bisa berupa devisa atau uang keras. Kita tidak mungkin makan dari kebanggaan.
Prinsip ini harus ditegaskan, karena ada kecenderungan pejabat di Indonesia lebih mengedepankan faktor kebanggaan dari ekspor ketimbang faktor keuntungan yang timbul akibat ekspor tadi.Â
Tahun lalu kita bisa melihat seberapa bangganya Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman melepas ekspor jagung ke Malaysia dan Filipina. Meski setelah itu, harga jagung di dalam negeri melonjak dan para peternak pun berteriak. Akhirnya, Amran sendiri yang mengajukan impor jagung beberapa bulan kemudian.Â
Mungkin saat itu, Amran tidak menghitung bahwa ada kebutuhan dalam negeri yang harus diutamakan ketimbang pencitraan.Â
Ironisnya, baru-baru ini Direktur Utama Perum Badan Urusan Logistik (Bulog), Budi -Buwas- Waseso, mengatakan bahwa ia bermimpi Indonesia bisa mengekspor beras pada saat panen raya di bulan Maret-April nanti. Menurut hitungan Buwas, stok beras pemerintah dan produksi hasil panen akan bisa melebihi kebutuhan dalam negeri. sehingga ada kelebihan yang bisa diekspor.
Sebelum Buwas benar-benar mewujudkan impiannya itu, ada baiknya ia berkaca pada kesalahan Mentan Amran Sulaiman di tahun lalu.Â
Selain itu, ekspor beras juga memang merupakan ide yang tidak rasional dalam kondisi saat ini. Upaya itu tidak akan menguntungkan apalagi harga beras di Indonesia lebih mahal dari pasar global.
Di tingkat petani, harga beras ada pada kisaran Rp10.000 per kilogram. Itu ebih mahal dari rata-rata harga beras dunia yang sebesar Rp5.600 per kilogram. Artinya bila Buwas benar-benar ingin mengekspor beras, maka kita harus menjualnya dengan harga rugi. Karena beras kita tidak akan bisa bersaing dengan produk lain yang sudah beredar.Â
Para pelaku pasar sendiri mengatakan harga beras di Indonesia masih belum bisa menyaingi harga beras yang ditawarkan Thailand maupun Vietnam. Padahal harga akan menjadi pertimbangan penting dalam proses jual beli komoditas, selain kualitas barang.