Dalam dunia yang penuh dengan kepentingan seperti sekarang, tidak ada peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Oleh karena itu, dalam melihat sebuah fenomena, hendaknya kita menggunakan sebuah sudut pandang yang luas. Sehingga informasi yang kita peroleh lebih lengkap. Termasuk juga kita membaca langkah-langkah dari para pelaku peristiwa.Â
Seperti misalnya baru-baru ini, ekonom dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, melontarkan tudingan bahwa pemerintah salah kelola dalam urusan gula.
Beberapa indikator yang ia gunakan adalah sepanjang tahun 2017-2018, Indonesia mengimpor gula hingga 4,45 juta ton. Volume impor gula ini tertinggi dibanding Cina (4,2 juta ton), Amerika Serikat (3,11 juta ton), Uni Emirat Arab (2,94 juta ton), Bangladesh (2,67 juta ton), dan Aljazair (2,27 juta ton).
Volume gula yang diimpor Indonesia itu juga melampaui negara seperti Malaysia (2,02 juta), Nigeria (1,87 juta ton), Korea Selatan (1,73 juta ton), dan Arab Saudi (1,4 juta ton).
Selain itu, ekonom yang pernah gagal di Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu itu mengatakan bahwa harga gula di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh, per Januari 2017, harga gula per kilogram di Indonesia US$ 1,1, sementara harga gula di dunia US$ 0,45. Begitu juga per Juni 2017, harga gula sebesar US$ 1 per kilogram, atau lebih tinggi ketimbang harga di dunia US$ 0,31.
Pada November 2018, harga gula di Indonesia sebesar US$ 0,85 atau melampaui harga gula dunia US$ 0,28. Dengan kurs Rp 14.041 per dolar AS, harga gula di Indonesia saat itu mencapai Rp 11.936 atau tiga kali lipat dari harga gula dunia Rp 3.932 per kilogram.
Tanpa ada keberimbangan informasi, bisa saja kita menganggap yang disampaikan Faisal Basri itu adalah kritik. Seperti halnya obat, kritik memang pahit, tapi ia bisa menyembuhkan penyakit.
Tapi bila ditelaah lebih lanjut, dan seiring dengan bertambah banyaknya informasi, makin terbukalah cakrawala pemikiran kita.
Pemerintah menjelaskan bahwa gula yang diimpor itu merupakan gula rafinasi. Komoditas ini adalah bahan baku industri, dan tidak bisa dihasilkan oleh petani atau pabrik gula dalam negeri.Â
Dengan kata lain, kenaikan impor gula rafinasi adalah indikasi bahwa industri makanan dan minuman dalam negeri sedang menggeliat semakin besar. Menurut hitungan Kementerian Perdagangan, industri gula dalam negeri tidak bisa menghasilkan gula rafinasi yang dibutuhkan pelaku industri. Baik dari segi kualitas maupun kuantitas.Â