Mohon tunggu...
Sri Mulyono
Sri Mulyono Mohon Tunggu... Politisi - di kantor

bersyukur dalam segala keadaan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

KPK (jangan) Makin Nobita, Untung Presidennya Jokowi

22 Februari 2015   16:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ Doraemon” Sebuah film kartun kesukaan anak anak. Doraemon adalah “baby siter Nobita”. Nobita  mungkin berusia 7 atau 8 tahun, anak yang selalu manja, semakin manja, mudah panik, cengeng, merajuk, ceroboh bahkan sering memprovokasi Doraemon supaya segera menyelesaikan permasalahanya. Nobita cukup memasang muka cemberut, merengek, menangis atau merajuk. Kalau sudah seperti ini, Doraemon akan menyerah. Aksi berikutnya, Doraemon merogoh kantong saktinya, mengaduk aduk mencari alat canggih untuk Nobita.

Jreeennng!!! keluarlah alat sakti dari kantong Doraemon. Seketika Nobita tertawa lebar, dirampasnya alat tersebut dari tangan Doraeman dan berjanji akan menggunakan sesuai kebutuhan. Namun prakteknya, Nobita selalu melanggar janji, dia menggunakan alat itu semaunya sendiri, ceroboh, membuat masalah baru, semena mena, membuat sulit teman teman dan lingkunganya hingga akhirnya dia sendiri kena batunya, menjadi bumerang.

Bagaimana dengan KPK? hampir mirip  Nobita, dengan dukungan UU, dana melimpah, jaringan mass media yang luas dan dorongan penuh dari berbagai elemen masyarakat, membuat KPK berlaku ceroboh, sembrono, semena mena dan ugal ugalan. Dilain pihak ketika mendapat masalah KPK bersikap kekanak kanakan, menangis, memelas, memprovokasi, uring uringan dan merajuk, laiknya Nobita kepada Doraemon. Ada beberapa catatan sejarah lebaynya KPK dan “doraemon.

Presiden SBY tercatat dua kali pernah “dijadikan atau menjadi Doraemon” KPK. Yang pertama ketika ada masalah Bibit dan Chandra. Keduanya  sudah dinyatakan tersangka kemudian ditahan oleh Polri. Namun kemudian Presiden SBY turun tangan. Sesuai dengan kewenangannya sebagai kepala negara, SBY memerintahkan Jaksa Agung untuk men-deponeering kasus tersebut. Bibit dan Chandra akhirnya lepas dari jeratan hukum.

Yang kedua masalah Irjend Djoko Susilo. Terjadi tarik menarik antara Polri dan KPK dalam menangani kasus Irjend Djoko Susilo  hingga kemudian menimbulkan ketegangan dan eskalasi semakin membesar. Akhirnya untuk keduakalinya Presiden SBY turun tangan dan meminta supaya kasus IrJend Djoko Susilo diserahkan kepada KPK. Dengan dua peristiwa yang sangat menguntungkan KPK ini, menjadi wajar jika kemudian KPK ketika ada masalah dengan Polri saat ini mengatakan rindu jaman Pemerintahan Presiden SBY.

Namun apakah jasa Presiden SBY tersebut Cuma Cuma alias gratis?! Penulis mencoba memberikan beberapa fakta sebagai argumen. 1.  Kasus Century tidak kunjung jelas diselesaikan KPK, justru orang orang yang telibat Century Gate menjadi pejabat penting dinegeri ini. Penulis  sebut antara lain, Boediono menjadi wakil Presiden, Sri Mulyani menjadi Menkeu kemudian dimutasikan menjadi Direktur World Bank, Muliaman Hadad menjadi Ketua OJK, Fuad Rahmani menjadi Dirjen Pajak dan masih ada lagi yang lainya  2. Edhie Bhaskoro Yudhoyono yang namanya berulang kali disebut dalam sidang dan BAP tidak disentuh oleh KPK, 3. Kasus Hambalang yang jelas jelas melibatkan orang orang cikeas seperti bu Pur alias Silvia Sholeha sampai saat ini tak disentuh KPK. 4. Ditetapkanya  Anas Urbaningrum menjadi tersangka oleh KPK setelah Pidato Presiden SBY dari Jeddah. Penulis sempat disomasi oleh Presiden SBY ketika menyinggung soal ini.

Karakter Nobita KPK kembali muncul ketika KPK berhadapan dengan Polri atas kasus Budi Gunawan. KPK bermimpi indah, Presiden Jokowi akan bersedia menjadi “Doraemon” untuk mengeluarkan alat sakti dan instan dari kantongnya. Namun kali ini khayalan KPK salah. Presiden Jokowi tetap independen dan tegas. Bahwa KPK dan Polri harus menyelesaikan masalah hukum dengan aturan hukum yang berlaku, tidak boleh ada politisasi dan kriminalisasi.

Gagal “mendoraemonkan” Presiden Jokowi, Abraham Samad putar haluan, berusaha “menDoraemonkan” TNI. Ketua KPK ini, sempat menelpon Panglima TNI, memohon untuk melindungi “KPK”. TNI sempat turun tangan ke kantor KPK dengan senjata lengkap namun kemudian ditarik lagi karena tidak ada urgensi TNI mengamankan gedung KPK. Perlu dicatat baik baik bahwa hanya Presiden sebagai panglima tertinggi angkatan bersenjata yang bisa memerintahkan Panglima TNI.

Objek Doraemon berikutnya yang disasar oleh KPK adalah Tokoh agama, politisi, intelektual, aktivis antikorupsi dan LSM. Mereka masih menjadi pendukung “ KPK”. Sengaja penulis beri tanda kutip, karena masih mengundang pertanyaan, apakah mereka mendukung lembaga KPK atau Oknum KPK? sebuah catatan, Presiden LIRA Jusuf Rizal menemukan bukti aliran dana dari KPK ke LSM seperti ICW dan 30 LSM lainya. Jusuf Rizal telah meminta BPK agar segera mengaudit KPK atas aliran dana ke 31 LSM tersebut.

Media Massa, baik cetak maupun elektronik terutama media mainstream, sampai saat ini masih setia menjadi “Doraemonnya” KPK. Mass Media, Alat tercanggih dari kantung Doraemon yang paling efektif, efisien dan berkekuatan besar menopang perjuangan dan keberadaan KPK. Tanpa alat sakti ini, KPK bisa dipastikan sudah tumbang. Mass media tampak jelas berlebihan memberi dukungan akhirnya membuat KPK arogan, semena mena dan ugal ugalan.

Kasus terbaru, tim sembilan mendatangi kantor KPK. Ada tiga kemungkinan kejadian, yang pertama Tim Sembilan “menDoraemonkan diri” atau KPK yang “menDoraemonkan” Tim Sembilan atau kedua duanya “Nobita’? akhirnya terjadilah cerita “Nobita-Doraemon” Dalam kesempitan orang akan berjanji dan bersedia melakukan apapun, yang penting dirinya selamat.

KPK makin Nobita ketika Johan Budi sempat membuat pernyataan konyol “ sebagian besar pegawai KPK akan mogok dan mengembalikan mandat kepada Presiden” dilanjutkan oleh BW yang mengatakan ada teror terhadap orang orang KPK.  Seluruh elemen pendukung KPK terutama Abraham Samad dan Bambang Widjojanto masih saja jualan dikriminalisasi. Bukankah kita semua sudah sepakat untuk menghormati hukum yang berlaku?

Karakter Nobita yang melekat pada KPK dimana selalu mengandalkan Doraemon, membuat KPK terus kekanak kanakan, tidak pernah dewasa dan rawan intervensi kepentingan pihak luar terutama kepentingan para “Doraemon”. KPK menjadi rawan kepentingan transaksional dan pragmatis atas jasa para Doraemon. Tidak salah bila kemudian publik menduga bahwa KPK berpolitik. Apalagi setelah terbongkarnya loby politik Abraham Samad menuju Cawapres 2014.

Diatas segalanya, bangsa ini beruntung mempunyai Presiden Jokowi yang tidak mau menjadi “Doraemonnya” oknum oknum KPK. Objektifitas, independensi dan ketegasan Presiden Jokowi adalah pendidikan terbaik dalam mendewasakan KPK. Supaya kelak KPK menjadi profesional, kokoh, gagah dan disegani. Jangan lagi ada arogansi, ugal ugalan, isak tangis, rengekan atau muka masam seperti kanak kanak sebagimana selama ini dilakukan oleh KPK.

KPK kelak harus lebih arif, bijaksana dan adil. Untuk terus mendorong supaya KPK lebih sehat dan dewasa, semua pihak harus menahan diri dan memberikan ruang besar bagi KPK untuk menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri secara dewasa. Bukankah kita semua malu kalau KPK dikatakan seperti Nobita yang kekanak kanakan ? Tidak elok juga kalau LSM, mass media, para tokoh dikatakan sebagai Doraemon? KPK jangan lagi jualan dikriminalisasasi, jangan semakin Nobita. Selamat datang KPK baru,...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun