Latar Belakang Konflik Suriah
Awal mula dari konflik Suriah disebabkan adanya demosnstrasi yang terjadi pada tahun 2011, dimana Pemberontakan itu menuntut reformasi dari sistem pemerintahan Suriah yang kemudian berubah menjadi perang saudara. Pemerintahan Bashar Al- Assad yang dianggap oleh masyarakat yang sangat otoriter membuat masyarakat tidak tahan lagi akan hal tersebut. Namun, demonstrasi tersebut dianggap sebagai pemberontakan dan mengakibatkan perpecahan antara pemerintah Suriah dan Masyarakat yang ada disana. Perang ini menjadikan salah satu perang saudara yang berkepanjangan di kawasan timur tengah.
Selain dari masalah internal yang terjadi, banyaknya faktor eksternal juga menjadi faktor dari konflik berkepanjangan ini. Konflik ini dianggab sebagai perang persektean antara mazhab Syiah oleh Presiden Bashar Al- Assad dan mazhab sunni sebagai oposisi. Adanya dukungan terhadap masing-masing pihak yang berasal dari kekuatan regional, dimana Assad yang didukung oleh Iran, Negara Syiah, dan lebanon. Sementara itu, Pihak oposisi didukung oleh negara-negara seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Afganistan. Untuk itu Konflik ini dapat dikatakan sebagi konflik yang mencerminkan persaingan geopolitik kekuatan besar di kawasan.
Dinamika Geopolitik Dalam Konflik Suriah
Dalam konflik Suriah menyebabkan yang awalnya konflik internal menjadi konflik yang sangat komples di kawasan Timur Tengah. Dimana, konflik Suriah memperlihatkan persaingan antara negara-negara di kawasan terhadap persaingan yang saling bertentangan. Iran sebagai pendukung dari Bashar al- Assad, memberikan beberapa bantuan termasuk bantuan militer dan bantuan finansial agar dapat mempertahankan rezimnya. Dari hal tersebut, Iran memanfaatkan Suriah dalam jalur strategi yang mengubungkan tehran dengan Hisbullah Lebanon untuk memperkuat pengaruhnya di regional. Namun sebaliknya yang terjadi pada Arab Saudi dan Qatar sebagai negara yang mendukung oposisi Suriah dengan tujuan untuk melemahkan Iran. Dukungan yang diberikan berupa bantuan finansial serta senjata kepaada kelompok pemberontak. Dalm hal ini Turki juga turut terlibat sebagai pihak eksternal yang awalnya mendukung oposisi, namun mengubah fokusnya menjadikan terhambatnya otonomi Kurdi di sepanjang perbatasannnya. Dengan adanya operasi militer Euphates Sheild memperlihatkan kepentingan Turki dalam mencoba mengendalikan wilayah yang ada di Utara Suriah. Dari hal ini dapat dilihat sebagai Turki yang menunjukkan kepentingan domestiknya yang terkait dengan keamanan perbatasan yang dapat mempengaruhi kebijakannya di Suriah.
Rusia yang juga mendukung Assad dengan memberikan bantuan berupa militer dengan melakukan intervensi langsung di tahun 2015. Dalam hal itu, Rusia yang melakukan serangan udara secara langsung yang membantu pihak rezim untuk merebut wilayah yang strategis. Dalam hal itu, Rusia memanfaatkan pengaruhnya untuk memperkuat geopolitiknya di kawasan Timur Tengah dengan mengamankan pangkalan militer di Tatus dan juga Khmeimim.  Selain itu, Rusia juga menggunakan hak Veto dalam Dewan Keamanan PBB dengan tujuan untuk melindungi Assad dari sanksi internasional. Amerika Serikat dalam hal ini sebaliknya memihak pada oposisi di Suriah dengan alasan demokratisasi, tetapi keterlibatannya sering kali membuat adanya perpecahan. Amerika Serikat yang juga berpindah  haluan pada pemberantasan kelompok ekstremis seperti ISIS, yang menyebabkan kurangnya tekanan langsung pada Assad. Polarisasi yang terjadi tidak hanya memperparah konflik internal yang ada di Suriah tetapi juga memperdalam ketegangan di Timur Tengah secara keseluruhan, termasuk negara-negera seperti Irak, Yaman dan Lebanon. Selain itu, konflik di Suriah dengan keberadaan kelompok estrimis seperti ISIS memperburuk stabilitas regional.
Dampak Konflik Suriah
Konflik Suriah telah menyebabkan dampak yang meluas yang bukan hanya berdampak pada internal Suriah  yang mengaharuskan warga harus mengungsi, tetapi juga berdampak pada negara-negara tetangganya. Menurut data per 1 April 2014 sudah ada lebih dari 6,5 juta warga suriah yang meninggalkan tempat tinggalnya akibat dari konflik yang berkapanjangan. Di Yodania banyak kamp yang berdiri untuk pengunsian warga Suriah yang terus bertambah hingga mencapai 600 jiwa setiap harinya. Menurut Oxford Research mengatakan bahwasanya di Nobember 2013 sekurang-kuranganya ada 11ribu anak-anak di suriah yang telah terbunuh akibat terjadinya konflik yang berkepanjangan. Selain itu, UNCHR melaporkan bahwasanya di September 2013 ada sekitar 2 juta warga suriah yang menjadi pengungsi di negara tetangganya (Yuliansyah, dkk 2023). Selain memberikan dampak terhadap hilangnya tempat tinggal bagi warga yang terdampak oleh konflik, dari konflik tersebut juga memberikan dampak langsung terhadap sistem pendidikan yang ada di Suriah. Dimana menyebabkan banyak anak-anak yang harus kehilangan mimpinya untuk bisa terus belajar. Selain itu, dengan adanya rasa trauma terhadap anak-anak menyebabkan ketidakstabilan emosi pada anak-anak serta hilangnya kesemmpatan untuk dalam proses kegiatan sosial di dalam masyarakat. Juga dengan konfli itu juga  memberikan dampak pada tumbuh kembang anak yang mana kurangnya gizi yang didapatkan dan beberapa faktor lainnya.
Daftar Pustaka
Muttaqin, M. Z. (2018). Ideologi: Faktor Konflik dan Kegagalan Timur Tengah. Nation State Journal of International Studies, 1 (2), 207--219.
Phillips, C. (2022). The international system and the Syrian civil war. International Relations, 36(3), 358-381.