Mohon tunggu...
S.Melani AS
S.Melani AS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

explore the world through writing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebenaran Hanyalah Ilusi bagi Nietzsche

28 Mei 2024   11:05 Diperbarui: 28 Mei 2024   11:07 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Friedrich Nietzsche (Wikipedia)

Disadari atau tidak sebenarnya pandangan kita mengenai sesuatu hal yang dianggap lumrah di masyarakat adalah sebuah kebenaran. Kebenaran seperti es itu dingin, api itu panas, ayam memiliki dua kaki dan sebagainya. Kebenaran-kebenaran tersebut tampak masuk akal. Hal itu mungkin karena cognitive ease atau kemudahan pemahaman. Seandainya kita sering menjumpai sesuatu hal maka hal tersebut akan di cap kebenaran oleh kita karena hal tersebut sudah akrab ditelinga kita. Kemudian apakah itu kebenaran atau perspektif kita saja? Apakah semua yang kita dengar, kita lihat dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah kebenaran?

Sebelum mencari kebenaran, sebenarnya kita mendefinisikan kebenaran itu seperti apa? Dan apakah kebenaran harus dicari dan menjadi cerminan untuk menilai sesuatu. Kita sadar atau tidak kita mengejar sebuah kebenaran itu hanya untuk sebuah kebutuhan di mana kita tidak tahu bagaimana atau seperti apa realitas yang ada. Jika seseorang menginginkan suatu kebenaran artinya orang tersebut bukan menginginkan kebenaran tetapi ingin makna dari kebenaran tersebut. Kebenaran tersebut dijadikan sebuah pegangan atau landasan seseorang supaya bisa mengatur atau pun menilai sesuatu. Pada zaman sekarang contohnya, manusia sudah merasa bahwa dirinya telah memegang sebuah realitas seolah-olah dia dapat mengendalikan hidupnya. Namun bagi seorang filsuf seperti Nietzsche adalah kehendak. Artinya kebenaran tersebut merupakan kehendak maupun perspektif dari orang tersebut yang memiliki anggapan demikian.

Friedrich Nietzsche mengatakan terkadang orang tidak ingin mendengar sebuah kebenaran karena akan mematahkan ilusi mereka. Orang-orang terkadang tidak ingin melihat kebenarannya karena mereka takut merusak apa yang telah mereka ciptakan. Dari pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa kebenaran itu ada jika mereka percaya. Sama halnya seperti jika mereka percaya dengan suatu hal maka ia akan menganggapnya sebuah kebenaran. Namun sebaliknya jika mereka tidak percaya terhadap hal tersebut maka akan menganggapnya salah meskipun itu adalah sebuah kebenaran. Kebenaran sendiri sepertinya tidak memiliki standarisasi yang konstan layaknya matematika yang memiliki angka sebagai nilai kebenarannya.

Nietzsche menteorikan bahwa kebenaran adalah sejauh mana ada kesesuaian antara pikiran dengan realitas. Misalnya ada angka di tengah-tengah antara dua orang yang posisinya berhadapan, salah satu dari mereka mengatakan bahwa angka tersebut adalah angka 6 sedangkan orang yang berada di depannya mengatakan bahwa itu angka 9. Hal tersebut merupakan salah satu contoh yang menjadi problematika dari sebuah kebenaran. Dari contoh tersebut kita dapat melihat bahwa keduanya mempercayai dan membenarkan dari perspektifnya masing-masing. Seandainya keduanya bertukar posisi maka keduanya akan memberikan jawaban yang berbeda. Hal ini menunjukan bahwa kebenaran juga dinamis. Dari teori Nietzsche ini dapat diasumsikan bahwa kebenaran itu tidak mutlak dan bisa dikatakan tergantung pada interpretasi masing-masing. Sebuah kebenaran juga pasti akan berubah seiring berjalannya waktu dan hanya ada satu kebenaran yang mutlak yaitu kebenaran agama.

Dalam ranah akademik mengenai kebenaran ilmu pengetahuan sendiri Nietzsche tidak setuju bahwa alam itu statis karena menurutnya alam itu dinamis yang dapat membuat sebuah kebenaran akan berubah. Kebenaran memiliki kriterianya tersendiri oleh karena itu ia tidak percaya bahwa kebenaran itu mutlak karena menurutnya semuanya hanya persepsi dan ilusi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Kebenaran itu sendiri memang kita yang mengklaimnya bahwa itu benar atau salah dan kebenaran itu sendiri juga dicapai karena kita memperjuangkan sebuah kebenaran. Artinya, untuk mencapai sebuah kebenaran itu tanpa kita sadari dilandasi oleh sebuah dorongan baik dari kebutuhan ekonomi, psikologi, politik, maupun kebutuhan lainnya.

Selain diperbincangkan di ranah akademik dan pengetahuan di kalangan masyarakat pun kebenaran diperbincangkan setiap harinya. Mereka salinng mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar namun sebenarnya yang terlihat hanyalah interpretasi mereka saja terhadap kebenaran yang mereka perebutkan. Kebenaran itu pasti muncul ketika mereka meyakini bahwa hal itu benar dalam versinya masing-masing. Mungkin saja kita tidak menyadari dan tidak pernah bertanya apakah kehidupan yang kita jalani saat ini Ini adalah sebuah realita dari kebenaran atau hanya ilusi kita. Kita mendengarkan, kita melihat, dan kita mempercayainya yang menjadikannya sebuah kebenaran dalam perspektif kita sendiri. Namun, pernahkah kita membayangkan bahwa sesuatu yang kita anggap benar sama halnya dengan perspektif orang lain? Pandangan mengenai kebenaran pun berlanjut pada nilai-nilai moral. Nietzsche mengistilahkannya dengan "perspektivisme", kebenaran hanyalah pandangan orang.

Pandangan Nietzsche yang berasumsi bahwa kebenaran adalah ilusi pun pernah dikomentari oleh Kofman yang menganggap bahwa Nietzsche tidak mengakui adanya kebenaran adalah salah. Kofman menganggap bahwa sebenarnya Nietzsche sudah mengakui adanya kebenaran namun yang menjadi standarisasi kebenaran itu sendiri yang tidak mutlak dan mungkin menganggapnya hanya sebuah ilusi. Selanjutnya Kofman menanggapi ilusi tersebut sebagai nilai-nilai yang dipandang benar. Nilai-nilai itu memiliki kebenarannya tersendiri jika sesuai dengan masa depan manusia tersebut. Kofman juga berargumen bahwa nilai-nilai yang dipandang benar itu membutuhkan ilusi untuk mewujudkannya dan ilusi tersebut yang dibutuhkan manusia demi kelangsungan hidupnya. Namun, di sisi lain ia juga berargumen bahwa nilai tersebut dikatakan benar atau salah bersandar pada penilaian terhadap kehidupan. Jadi ia menyimpulkan bahwa nilai tidak bertumpu pada kebenaran tetapi nilai itu memiliki kebenarannya tersendiri jika nilai tersebut sesuai dengan kebuhan dan berguna bagi manusia. Kebenaran-kebenaran ini hanya bermanfaat bagi suatu bentuk kehidupan tertentu, tetapi tidak menyentuh kehidupan sepenuhnya.

Dalam sumber lain, teori Nietzsche yang mengungkapkan bahwa "Kebenaran merupakan ilusi yang telah dilupakan sebagai ilusi" menunjukkan bahwa apa yang orang-orang percayai sebagai kebenaran sebenarnya adalah ilusi yang sudah mereka lupakan. Nietzsche mengibaratkan ada koin yang kehilangan ukiran-ukirannya di kedua sisinya. Koin tersebut akan dipandang tidak berharga lagi oleh manusia karena telah berubah menjadi sebuah logam tanpa nilai. Hal tersebut menunjukkan bahwa memang awalnya logam tersebut bukanlah uang yang tidak bernilai namun ketika kedua sisinya diukir maka logam tersebut menjadi koin/ uang. Ukiran-ukiran yang ada dikedua sisi koin diibaratkan sebuah ilusi yang manusia ciptakan. Dengan demikian meskipun  koin/ uang kehilanngan ukirannya tetap saja pada kenyataanya itu adalah sebuah koin. Jadi itulah mengapa Nietzsche menteorikan kebenaran seperti itu.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kebenaran hanya ilusi bagi Nietzsche merupakan sebuah ilusi yang manusia ciptakan yang kemudian oleh manusia itu sendiri diklaim sebagai kebenaran. Ilusi yang pernah manusia ciptakan dan kemudian dilupakan. Manusia terkadang menciptakan dunianya sendiri dan melupakan realitas yang ada. Mereka takut untuk mematahkan ilusinya jika mengetahui realitas yang sebenarnya. Ringkasnya, Nietzsche mungkin berpikir demikian karena ia ingin menguji apakah kebenaran yang kita yakini benar sesuai dengan realitas dan pandangan orang lain atau hanya ilusi kita semata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun