Karena itu, menurut Sardar, yang diperlukan adalah reorientasi radikal ilmu pengetahuan hingga ke tingkat epistemologi dan pengisian pandangan dunianya dengan nilai-nilai Islam agar terbentuk suatu ilmu pengetahuan Islam yang lebih sesuai dengan kebutuhan fisik dan spiritual umat Islam. Sardar menyebut usahanya ini dengan “kontemporerisasi ilmu pengetahuan Islam.” Nilai-nilai yang dijadikan pijakan epistemologi oleh Sardar adalah sepuluh nilai, yaitu tawhīd, khilāfah, ‘ibādah, ‘ilm, halāl, harām, ‘adl vs zulm, istishlāh vs dhiyā’[17]. Kesepuluh rumusan nilai ini dapat diletakkan sebagai basis untuk menilai apakah program-program riset dan teknik masuk dalam kategori islamic science atau tidak. Misalnya, pertanyaan-pertanyaan dapat diajukan apakah hasil dari program tersebut menjadi ukuran bagi keadilan sosial ataukah memperkuat dan memunculkan suatu bentuk tirani; apakah ia membawa kepada penghormatan kepada kekhalifahan manusia berkenaan dengan dunia alam; dan apakah membawa kepada kesejahteraan manusia atau kesia-siaan[18].
- Ja’far Syekh Idris
Konsep Islamisasi Pengetahuan yang dicanangkan Isma’il Raji Al-Faruqi mempunyai pengaruh besar kepada para intelektual muslim lain salah satunya adalah Ja’far Syaikh Idris dari Sudi Arabia. Ja’far Syekh Idris mengajak para cendikiawan muslim untuk memasukan ajaran Islam ke dalam ranah studi dan karya akademis mereka dalam rangka melakukan perombakan ilmu sosial Islam. Ia mengajukan lima pertanyaan sebagai panduan untuk menuju ke arah Islamisasi ilmu pengetahuan tersebut.
- Apakah makna mengIslamkan Ilmu?
Mengislamkan ilmu harus mengamati sejumlah prinsip yang merupakan esensi Islam. untuk menuangkan kembali disiplin-disiplin di bawah kerangka Islam, berarti membuat teori-teori, metode-metode, prinsip-prinsip, dan tujuan-tujuan yang sesuai dengan Keesaan Allah, Keesaan Alam Semesta, Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan, Kesatuan hidup dan Kesatuan umat manusia.
- Apakah ilmu pengetahuan itu bersifat “mungkin”?
Ilmu pengetahuan objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji. Ilmu pengetahuan yang mungkin untuk di Islamisasikan. Karena tidak mungkin kita mengislamkan agama kristen.
- Apakah semua ilmu pengetahuan itu dipelajari atau sebagiannya bawaan sejak lahir?
Jika ilmu tersebut adalah innate maka tidak dapat diislamkan sebaliknya jika dipelajari maka mungkin untuk diislamkan.
- Apakah sumber-sumber ilmu pengetahuan itu?
Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslimin untuk belajar dan terus belajar, maka Islampun telah mengatur dan menggariskan kepada ummatnya agar mereka menjadi ummat yang terbaik (dalam ilmu pengetahuan dan dalam segala hal) dan agar mereka tidak salah dan tersesat, dengan memberikan bingkai sumber pengetahuan berdasarkan urutan kebenarannya sebagai berikut: Al-Qur’an dan Sunnah, Alam semesta, Diri manusia dan Sejarah.
- Apakah metode ilmiah itu?
Persoalan metodologi dalam sains Islam secara konseptual tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir kognisi manusia yang berkaitan dengan persoalan tujuan rohaniah manusia. Itu berarti harus ada pendasaran pada gagasan keesaan (tauhid) yang berasal dari pandangan Al-Quran dan Al-Hadits.
Kelima pertanyaan tersebut memandu para akademisi muslim ketika mereka terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilmiah dan mereka harus mampu menjawabnya dengan terlibat secara proaktif dalam penelitian-penelitian ilmiah.
- Kuntowijoyo: a Islamic application
Salah satu bukunya yang berjudul Islam sebagai Ilmu memuat kritik membangun terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan. Baginya tidak semua entitas dalam pengetahuan Islam bisa diIslamikan. Metode, teknologi, kesenian, dan ilmu yang benar-benar objektif, seperti kimia tidak bisa diIslamkan[19]. Lebih jauh lagi, kritik Kuntowijoyo mengarah pada usaha untuk meninggalkan Islamisasi pengetahuan, dalam ungkapan awalnya dalam buku Islam sebagai Ilmu dengan mengatakan bahwa :
”...Saya tidak lagi memakai ‘Islamisasi pengetahuan’, dan ingin mendorong supaya gerakan intelektual umat sekarang ini melangkah lebih jauh, dan mengganti ‘Islamisasi pengetahuan’ menjadi ‘pengilmuan Islam’. Dari reaktif menjadi proaktif....’Pengilmuan Islam’ adalah proses, ‘Paradigma Islam’ adalah hasil, sedangkan ‘Islam sebagai ilmu’ adalah proses dan hasil sekaligus...”[20]