Awal tahun 2025 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan bagaikan angin segar, bahwa usaha spa atau mandi uap tidak termasuk kategori hiburan. Implikasi keputusan ini sangat membantu perkembangan usaha spa yang selama ini banyak digeluti oleh kaum Wanita.
Dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu maka usaha spa tidak termasuk objek pajak barang dan jasa tertentu dengan tarif 40 hingga 75 persen dari pendapatan kotor. Sementara usaha termasuk kategori jenis hiburan, seperti karaoke dan diskotik, tetap kena pajak dengan tarif itu.Â
Usaha spa selama ini terhimpit oleh ketentuan pajak dan juga stigma sosial yang tidak menguntungkan. Padahal jenis usaha ini memberikan lapangan kerja yang cukup bagus bagi masyarakat.
Sudah selayaknya MK mengabulkan sebagian permohonan dalam perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 terkait penggolongan spa. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa spa merupakan bagian dari pelayanan kesehatan tradisional, bukan hiburan seperti diskotik atau karaoke.
Permohonan diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia, Perkumpulan ASTI, PT Cantika Puspa Pesona, CV Bali Cantik, dan PT Keindahan Dalam Jiwa dkk.
MK mengabulkan sebagian permohonan Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 mengenai pengujian Pasal 55 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terkait ketentuan mandi uap/spa masuk kategori jenis jasa hiburan. Namun dalam putusan ini, MK memaknai mandi uap/spa dalam pasal a quo sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional.
Menurut Mahkamah, pengklasifikasian mandi uap/spa dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l UU HKPD yang disamakan dengan diskotik, karaoke, klab malam, dan bar tidak memberikan jaminan kepastian hukum atas keberadaan mandi uap/spa sebagai jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut atas penggunaan layanan jasa kesehatan tradisional dimaksud.Â
Dimasukkannya "mandi uap/spa" dalam kelompok diskotik, karaoke, klab malam, dan bar, menjadikan hal tersebut sebagai jenis tontonan, pertunjukkan, permainan, ketangkasan, rekreasi atau keramaian untuk dinikmati, yang tidak sesuai dengan jasa pelayanan kesehatan tradisional sehingga menyebabkan kerugian bagi para Pemohon berupa pengenaan stigma yang negatif.
Menurut penjelasan MK bahwa pelayanan kesehatan tradisional memiliki landasan hukum yang jelas dan konsisten baik melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan maupun Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dengan pengaturan lebih lanjut yang tertuang dalam peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2014 dan PP Nomor 28 Tahun 2024.Â
Pelayanan ini diakui sebagai bagian integral dari sistem kesehatan nasional dengan cakupan yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, hingga paliatif.Â