Berbagai literatur telah banyak membicarakan Jurnalistik, tidak terlepas dari banyaknya pembicaraan tersebut tentunya kemunculan Jurnalistik tidak serta merta langsung jadi seperti sekarang ini. Jurnalistik juga memiliki sejarah yang panjang, ketika membicarakan tentang sejarah jurnalistik maka senantiasa akan merujuk pada "Acta Diurna" pada zaman Romawi Kuno, khususnya masa pemerintahan Julius Caesar (100-44 SM).Â
Acta Diurna sendiri memiliki arti atau kegunaan sebagai papan pengumuman pada zaman tersebut, atau yang pada zaman sekarang kita lebih mengenal sebagai papan dinding (mading) dan papan informasi yang biasa kita lihat ada di setiap dinding bangunan sekolah atau kampus. Acta Diurna sendiri diletakkan pada Forum Romanum agar diketahui oleh banyak orang. Secara harfiyah Acta Diurna diartikan sebagai catatan harian atau catatan publik harian. Acta Diurna diyakini sebagai produk jurnalistik pertama sekaligus pers, media massa, surat kabar/koran pertama di dunia. Julius Caesar pun disebut sebagai "Bapak Pers Dunia".
Secara garis besar sejarah jurnalistik muncul dari hal yang telah dijelaskan diatas. Kata atau istilah jurnalistik pun berasal dari Acta Diurna itu pula. Lalu berkembang lagi menjadi jurnalisme atau jurnalistik dan jurnalis Untuk ketiga kata dan istilah tersebut memiliki perbedaan secara tersendiri, menuruk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Jurnalistik adalah hal yang menyangkut kewartawanan dan persuratkabaran serta seni kejuruan yang bersangkutan dengan pemberitaan dan persuratkabaran. Jurnalisme dengan Jurnalistik hanya memiliki perbedaan istilah akan tetapi mempunyai makna yang sama, jurnalisme adalah pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan di surat kabar dsb; kewartawanan.Â
Sedangkan orang yang menulis atau melaporkan tulisan tersebut disebut dengan istilah jurnalis atau seorang jurnalis. Untuk lebih memahami perbedaan ketiga istilah tersebut bacalah contoh kalimat ini "Dalam melakukan jurnalisme dibutuhkan pemahaman jurnalistik yang lebih mendalam agar menjadi seorang jurnalis yang diakui atau dianggap profesional."
Di dunia pers, ada hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi. Seperti yang kita ketahui kita tinggal di negara hukum di mana segala kesejahteraan masyarakatnya dijamin, negara ini juga mempunyai sebuah aturan kepada masyarakatnya yang harus dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab agar mendapatkan hak yang diberikan negara kepada masyarakatnya. Sama halnya dengan dunia Jurnalistik, seorang jurnalis memiliki aturannya juga seperti tanggung jawab yang harus dipenuhi dan telah tertuang pada kode etik akan tetapi seorang jurnalis juga memiliki hak dalam pekerjaannya itulah yang disebut dengan hak tolak, hak jawab, dan hak koreksi. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, secara tegas menyebutkan ada tiga kategori hak yang harus berjalan seimbang dan wajib dipegang teguh oleh seorang wartawan dan perusahaan pers tidak terkecuali oleh masyarakat. Sesuai pasal 1 angka 10, 11 dan 12 UU pers, ketiga hak itu adalah hak tolak, hak jawab dan hak koreksi.Â
Hak tolak adalah hak wartawan untuk menolak, karena profesinya, untuk mengungkapkan nama dan/atau identitas lain dari sumber berita yang harus dirahasiakan, dengan seseorang atau sekelompok orang memiliki hak jawab untuk memberikan jawaban. atau bantahan. Terhadap laporan yang merusak nama baik mereka. Hak rektifikasi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan informasi yang tidak benar yang dimuat oleh pers, baik tentang dirinya sendiri maupun orang lain.Â
Adapun penerapan dari ketiga hak tersebut, tertuang dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) UU pers, bahwa Pers wajib melayani hak jawab dan Pers juga wajib melayani hak tolak. Hak tolak ini juga diperkuat di pasal 4 ayat (4) yang menegaskan, bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak, berkaitan dengan hak tolak, sesuai dengan penjelasan pasal 4 ayat (4) UU Pers, di mana dijelaskan, tujuan utama hak tolak adalah agar wartawan dapat melindungi sumber-sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan indentitas sumber informasi. Hak penolakan sangat penting karena mencegah editor menggunakan seseorang sebagai jebakan.Â
Otoritas investigasi dan polisi tidak diperbolehkan meminta informasi apapun selain yang telah dipublikasikan. Ketika wartawan memberikan informasi yang dapat digunakan untuk menjebak narasumber, hal itu merusak kepercayaan narasumber kepada wartawan. Agar kehadiran wartawan dapat diterima oleh semua orang, wartawan tidak boleh memberikan informasi untuk menjebak pihak lain.Â
Hak koreksi memilki fungsi sebagai kontrol sosial masyarakat dimana setiap orang dijamin haknya oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media dan dewan pers dengan berbagai bentuk dan cara, dengan adanya Hak jawab dan hak koreksi. Hak koreksi menjadi tugas dan peran pers nasional dalam memenuhi hak masyarakat terkait pemberitaan media. Hak-hak tersebut diantaranya mencakup tentang hak masyarakat untuk mengetahui, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (Wikipedia).
Kemudian, untuk menjadi seorang Jurnalis yang profesional dibutuhkan bebera modal dasar yang menjadi watak seorang jurnalis salah satu diantaranya adalah memiliki sikap skeptis, pengertian dari skeptis ialah seorang jurnalis tidak mudah percaya begitu saja, artinya segala informasi yang jurnalis terima tidak serta merta langsung dijadikan bahan tulis, seorang jurnalis harus menganalisis lagi tentang kebenaran informasi yang ia dapat.Â
Agar tidak terjadinya kesalah pahaman yang dapat merugikan pihak-pihak lain ataupun pihak jurnalis itu sendiri. Dengan kata lain, jurnalis yang memiliki dan harus mempunyai sikap skeptis telah menerapakn kode etik jurnalistik itu sendiri. Untuk itu hal-hal dasar yang telah dijabarkan dapat menjadi pengangan untuk para jurnalis agar tetap menjaga kepercayaan masyarakat dan diakui keprofesionalannya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H