Mohon tunggu...
Kirani Sri
Kirani Sri Mohon Tunggu... -

working mom 8 to 5\r\nloving mom every hours

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Iri Hati

3 Maret 2011   10:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:06 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasa iri terhadap orang lain memang hal yang manusiawi, tetapi menjadi tidak sehat lagi disaat rasa iri itu mulai mengerogoti diri kita secara berlebihan dan yang parah mengubah kita menjadi seseorang dengan kepribadian yang tidak menyenangkan. Apabila rasa iri atas kesuksesan orang lain memacu kita untuk bekerja lebih giat, berusaha lebih keras dan akhirnya mensyukuri apa yang telah kita capai, saya rasa itu adalah rasa iri yang memicu pada hal yang baik. Tetapi saat rasa iri mengubah kita menjadi orang yang tidak lagi menyenangkan, mencurigai orang lain secara berlebihan dan kehilangan akal sehat, saatnya diam sejenak dan berpikir ada apa dengan diri kita.

Saya pribadi pernah merasakan rasa iri yang luar biasa terhadap orang lain, sehingga saya curiga terhadap orang tersebut apapun yang dilalukan pasti bertujuan untuk menjatuhkan saya. Saya iri dengan saudara saya karena tak perlu bekerja dengan giat, tak perlu bangun pagi dan berangkat kerja meninggalkan anaknya tetapi selalu disupply oleh orang tua, dapat terus melakukan hobinya yang mahal dengan minta kepada orang tua, tidak perlu melamar pekerjaan kemanapun karena bila ingin bekerja bisa masuk sebagai abdi Negara dengan ‘jalur khusus’ dan dananya akan disiapkan oleh orang tua. Kepala saya dipenuhi kebencian dan keinginan seperti itu, saya merasa berhak atas perlakuan seperti itu. Tanpa harus bermacet-macet setiap pagi dan sore hari melintasi jalan raya yang selalu padat dengan kendaraan, tidak harus meninggalkan anak dengan orang lain, dapat tinggal di rumah yang besar tanpa perlu memikirkan biayar operasional, dapat naik mobil tanpa perlu mengeluarkan uang bensin, semua tinggal minta ke orang tua, mengapa saya tidak melakukan hal yang sama, santai dan bergantung dengan orang tua yang memang sudah tua tapi berduit banyak, tidak peduli uangnya darimana. Walaupun suara hati berkata salah tapi rasa iri telah menutup telinga dari suara hati. Kebencian menutup mata dan hati untuk bersyukur karena lebih focus pada hal lain yang tidak berguna. Saya berhenti bersyukur atas apa yang saya terima, pekerjaan yang saya miliki, keluarga yang saya cintai, rumah yang kecil tapi nyaman, teman-teman saya yang selalu ada di dekat saya saat sedih dan senang, kesempatan saya untuk melihat kehidupan lain disaat jalanan macet, orang-orang yang terus berjuang untuk hidupnya dengan berjualan apapun diatas bus kota, anak kecil yang tetap berlarian dari mobil ke mobil untuk mencari recehan dan selalu tersenyum tidak peduli hujan atau panas, semua orang yang terus berusaha untuk hidupnya karena kehidupan setiap orang adalah tanggung jawab setiap pribadi atas dirinya sendiri.

Saat saya berpikir iri hati menguasai dan tidak berpikir jernih lagi…..diam sejenak dan lihat sekeliling, apa yang sudah saya dapatkan dalam hidup saya, tidak perlu dibandingkan dengan orang lain karena kesuksesan, kebahagian yang memberi nilai kita sendiri bukan orang lain. Kemudahan yang orang lain dapatkan tidak perlu lagi dipersoalkan karena setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda, bersyukur dan terus bersyukur. Saya rasa itu kunci terbaik menghadapi rasa iri yang mendera saya, bersyukur untuk berkat terkecil dalam hidup saya tanpa perlu memusingkan orang lain. Teori lama yang tidak pernah lekang oleh waktu, teori sederhana untuk selalu bersyukur tapi sulit untuk dilaksanakan.

Ah….kenapa saya selalu terlambat menyadarinya……..selalu bersyukur……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun