Mohon tunggu...
deehati
deehati Mohon Tunggu... Administrasi - Freelancer | Influencer | Blogger

simply complicated

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Masih "Manunggaling Kawula Gusti" Bumi Yogyakarta

17 September 2011   14:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:52 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku hanya bisa tersenyum dalam diamku, ketika melihat mereka memelukku dan mencumbuku dengan penuh sayang. Ah, lihat wajah mereka yang berseri-seri, sepertinya mereka sedang diliputi rasa bahagia. Aku kembali menatap sekelilingku, tak hanya mereka, tapi banyak lagi orang yang berkelompok, berdua dengan kekasihnya, bahkan ada yang hanya seorang diri, duduk menikmati  dinginnya malam di sekitarku. Bulan pun tak mau ketinggalan tersenyum, dia menyinari kami dari atas sana. Dan disorot lampu kota yang terkadang menyilaukan pandanganku, namun aku merasa elok jika bermandikan cahayanya. Aku menatap langit yang kelam, mungkin sekelam pikiranku yang sudah - sudah. Aku jadi teringat peristiwa demi peristiwa yang kualami. Pikiranku kembali melayang ke waktu itu, waktu dimana tubuhku belum berubah seperti sekarang ini. Aku sangat bangga ketika Sri Sultan Hamengkubuwono I meletakkan batu pertamanya. Bangga sekaligus merasa terhormat menjadi Manunggaling Kawula Gusti. Di kala itu aku bisa menyaksikan keharmonisan yang terjadi di bumiku ini. Betapa damainya kerukunan yang tercipta di sekelilingku. Walau terkadang ada beberapa kelompok orang yang membuat keributan, tapi aku yakin bahwa mereka hanya sesama kaum yang salah paham satu sama lain. Rasanya bahagia, bisa turut menjadi saksi perjalanan hidup orang - orang yang turut mewarnai bumi Yogyakarta. Orang - orang yang membanggakan, yang lahir dari tanah yang suci ini. Mereka memberikan sumbangan ilmu yang sangat berarti bagi negriku ini. Tak bisa kusebutkan satu persatu, namun wajah dan nama meraka masih terpatri di hatiku. Tapi ketenangan pada saat itu semua mulai sedikit demi sedikit terganggu, ketika orang asing menapakkan kaki di tanahku. Dari cara berpakaian mereka, bahasa yang mereka gunakana, aku yakin mereka bukan dari tanah Jawa. Aku tersenyum kecut menyambut kedatangan mereka yang berjalan dengan dagu di angkat, sombong sekali pikirku. Bumi bergoyang, tubuhku terguncang, apa ini? apa yang terjadi? Panik menyelimuti diriku saat itu. Aaaah, tidak kenapa tubuhku? Tubuhku bergetar hebat, puing - puing mulai berjatuhan. Aku berteriak - teriak, namun semua orang tak berhasil mendengarku. Tuhan sedang marah pada kami. Di sela - sela teriakanku, aku mendengar banyak orang juga berteriak - teriak “lindu - lindu”. Gempa sedang melanda, dan aku tak bisa menyelamatkan diriku. Aku limbung dan tertidur dalam ketakutan. Silau matahari membangunkanku, badanku terasa aneh. Entah berapa lama aku tertidur. Tak bisa kupastikan, tapi kenapa semua terlihat berubah? Di sekelilingku, sudah banyak bangunan yang tak ku kenal. Orang - orang yang yang berlalu lalang juga semakin berubah. Dan orang asing itu semakin banyak di sini. Jangan - jangan aku salah tempat, pikirku. Kulongokkan kepalaku ke arah selatan, kediaman Kanjeng Gusti masih ada di sana, aku segera melongokkan kepalaku ke arah utara, di sana masih berdiri dengan gagahnya sang Merapi. Syukurlah, berarti aku tak salah berdiri, tapi rasanya tetap berbeda. Apakah aku tertidur dalam waktu yang lama? Sembari berpikir, kulihat badanku, aku tercengang dan kemudian meraung - raung, menangis, memanggil - manggil nama Kanjeng Gustiku. Kenapa dengan tubuhku? Apa ini? Rasanya tubuhku berubah, banyak pahatan yang tak kukenal di tubuhku, bentukku berubah. Apa saat aku tertidur, kanjeng gusti marah padaku dan mengubah bentuk tubuhku? Aku hanya menangis dalam diamku. Dengan senyum hangat dari mentari pagi, aku mulai kembali membangkitkan rasa semangatku. Aku yakin, aku masih dipercaya memegang titah dari Kanjeng Gustiku. Buktinya beliau selalu tersenyum jika melintas di depanku. Hari mulai berganti, waktu terus berjalan, aku tetap tidak bisa menerima orang - orang asing itu berjalan melenggak - lenggok di hadapanku. Entah kenapa, sampai saat ini pun aku masih merasa jengah terhadap mereka. Namun Kanjeng Gusti bisa menerima keberadaan mereka, mungkin ini waktunya aku juga bisa menerima mereka, tapi firasatku mengatakan mereka mempunyai tindak - tanduk mencurigakan. Di bawah langit yang bersih, di tengah panas akan teriknya matahari yang menyengat tubuhku. Aku seperti saksi bisu, lidahku kelu ketika melihat para gerombolan penindas, penjajah negriku, memporak-porandakan tanah tempat kakiku berpijak, bumi Yogyakartaku. Darahku mendesir hebat, ingin sekali kutendang para biadab-biadab itu. Namun apa daya, aku hanya bisa mematung dan memandang nanar di sekelilingku, darah berhamburan dimana-mana. Letusan demi letusan saling bersautan, terdengar jerit para wanita dan anak - anak, tak sedikit yang bersembunyi dari amukan benda panas yang bisa menembus jantung. Aku terkesiap ketika sebuah benda hampir mengenaiku, terlempar melewati tubuh kakuku. Boooommmm!!! Dari kejauhan asap mengepul, membumbung tinggi beradu dengan putihnya awan. Keparat!!! Aku hanya bisa memaki - maki dalam diam. Mereka anjing - anjing berseragam tak kenal mangsa, membumi hanguskan rumahku. Rasa geram dan kebencian terhadap mereka kembali tumbuh dalam diriku. Aku muak dengan mereka, aku berusaha menggerakkan tubuhku, namu semua sia - sia. Aku hanya bisa tergugu dalam hening, melihat semua yang terjadi. Tangisku terdengar Tuhan, rakyat bersatu, mengangkat runcingnya bambu dari kebun sawah mereka, mengangkat besi yang mengeluarkan letusan itu. Dengan keberanian yang penuh mereka berjuang demi bumi Yogyakarta. Aku melihat semua itu, aku melihat peristiwa demi peristiwa bersejarah yang akan terukir terus dalam ingatanku. Yah, aku lah saksi bisu yang melihat secara nyata tentang kedamaian negriku, perjuangan rakyat Yogyakarta dan kebersahajaan Kanjeng Gustiku. Aku tersentak dari lamunanku, lamunan yang mengingatkanku pada masa - masa itu. Seorang gadis muda mendekatiku, wajahnya sendu. Dia berdiri di dekatku, tangannya memelukku dan kemudian tersenyum ke arah temannya. Sepertinya dia sedang mengambil gambarku dan dirinya, ini sudah menjadi seperti tradisi bahkan mungkin kebiasaan yang menarik. Gadis itu beranjak pergi, beberapa langkah dia berhenti, kemudian menoleh dan menatapku lekat - lekat seraya berkata “aku mencintaimu Jogja, aku pasti akan mengunjungimu lagi Tugu”, ada perasaan senang dan haru dalam hatiku. Aku jadi terkenal, bak orang tersohor ke seluruh penjuru daerah. Banyak sekali orang yang memotret dirinya bersanding dengaku. Aku juga turut senang, itu pertanda mereka menyayangiku. Namun, walau Kanjeng Gustiku sudah bergonta - ganti karena termakan usia mereka, walau tubuhku telah berubah seperti sekarang ini, aku akan tetap setia dengan titah Sultan Ngayogyakarto Hadiningrat. Dengan bangga akan selalu kuemban tugas muliaku ini, karena aku masih Manunggaling Kawula Gusti bumi Yogyakarta. - deelest * tulisan ini juga bisa dilihat di blog pribadi saya http://bit.ly/oWKCLJ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun