Mohon tunggu...
deehati
deehati Mohon Tunggu... Administrasi - Freelancer | Influencer | Blogger

simply complicated

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kita Pantas Mati!!!

19 Agustus 2011   10:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:38 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini sudah minggu ketiga Ares tidak pulang. Hera mulai gelisah, sesekali diintipnya pagar rumahnya. Disingkapnya tirai yang menutupi jendela kamarnya. Matanya mengelilingi kamar kecil pengap ini. Hera menuju ke meja kecil yang terletak di sudut kamar, diambilnya bingkai foto di atasnya. Hera tersenyum, dibelainya dengan mesra wajah yang ada di dalam foto itu. Kini matanya tertuju pada handphonenya, tak terlihat ada pesan atau pun telepon masuk. Helaan nafas yang berat dan panjang menggema di dalam kamar ini.

“Kamu dimana Res? Ini sudah 5 hari kamu tidak memberiku kabar,” dipandanginya foto suaminya lagi. Tangan kanannya masih membelai-belai wajah Ares. Suara hujan di luar rumahnya semakin membuat suasana hati Hera semakin sendu. Jam sudah menunjukkan pukul 1 malam. Hera beranjak dari tempatnya berdiri dan melangkah keluar kamar. Dia berjalan ke arah dapur, dibuatnya secangkir teh hangat untuk menyegarkan badannya yang merasa dingin.

“Tuhan, semoga Ares baik-baik saja” desisnya. Hera duduk di ruang tengah, dinyalakannya tv untuk sekedar menghilangkan rasa gelisah yang sedang menjalar di dalam dirinya selama beberapa hari ini. Tak ada acara menarik yang sedang tayang tengah malam, beberapa kali Hera menekan-nekan remote tv hanya untuk mencari acara yang menarik perhatiannya. “haaaahh….” Dihelanya kembali nafas berat yang datang dari hatinya.

“Res, kamu lagi apa sih? Masa kamu gak tahu kalau aku bingung gini? Cemas banget mikirin kamu. Atau hendphonemu hilang? Atau kamu ah, aku gak bisa membayangkan sesuatu yang buruk menimpamu” mata Hera berkaca-kaca. Hera menangis sesegukan di depan tv yang masih menyala, suaranya nyaris tak terdengar karena suara tv dan suara hujan yang deras. Diraihnya bantal dari kursi yang Hera duduki. Bantal itu dipeluk dan dibenamkannya kepalanya. Tangan Hera sesekali membenarkan rambutnya. Tangisnya semakin pecah.

***

Suara tv yang masih menyala membangunkan Hera. “Aku tertidur di kursi ya?” bisiknya pada  dirinyasendiri. Di rumah mungil ini, Hera hanya tinggal seorang diri jika Ares pergi ke luar kota. Hera terpaku di atas kursi yang didudukinya. “Hari ini aku harus ke kantor mas Ares, mungkin bisa mencari tahu keadaannya dari teman kantornya,” Hera bangkit dari duduknya, berjalan menuju kamar mandi.

Di rasa sudah siap, diambilnya kunci mobil, kembali dia berkaca untuk memastikan matanya yang sembab tidak terlihat. Hera mengambil handphonenya di atas meja. Tak ada satu pun panggilan atau pesan yang masuk, Hera segera beranjak ke garasi, memanaskan mobilnya.

“Dek Hera sudah rapi pagi ini, mau kemana?” bu Yani, tetangga sebelah rumahnya menegur sambil memilih-milih sayur di depannya. “Oh ini bu, saya mau ke kantor mas Ares. Ambil dokumen yang ketinggalan di kantor.” Hera tersenyum dan menghampiri gerobak sayur langganannya itu. “Lho, dek Ares tumben ke luar kotanya lama. Emang ke kota mana dek?” bu Yani semakin usil bertanya pada Hera, dia tahu Hera dan Ares masih pasangan muda yang merantau ke kota ini. “Iya bu, kali ini ke Batam. Lagi ada proyek yang gak bisa ditunda dari atasannya, mungkin sedang meneliti lapangan bu. Mungkin beberapa hari ini sudah pulang,” Hera tersenyum kembali dan ikut memilih sayur. “Pak, saya hari ini gak belanja tapi besok saya pesan daging sapi dan santan ya pak, dilainkan saja, ntar diambil orang lagi kayak kemarin” Hera berbicara pada tukang sayur langganannya, yang diajak bicara hanya mengangguk-angguk saja. “Bu Yani, saya pergi dulu, keburu siang. Mari bu…” dengan langkah buru-buru menuju mobil Hera berpamitan pada tetangga rumahnya itu.

Di dalam mobil, Hera tidak bisa konsentrasi menyetir. Pikirannya melayang  pada wajah Ares. Hera merasa ada sesuatu yang ganjal dari diri Ares sebelum berangkat ke luar kota. Diambilnya handphone dari tas yang berada di jok sebelahnya. Hera mulai menekan nomor Ares. Terdengar suara operator di seberang. “Res, mau kamu apa sih? Aku benar-benar cemas, gelisah dan marah sekarang!” Hera mengomel sendiri dalam mobil. “ciiiiiittttttt……….” Mobil Hera langsung mengerem mendadak, seekor Anjing memotong laju mobilnya. “Anjing sialan!!” Hera menghela nafas dan membenarkan posisi duduknya. Kembali dia injak gas secara perlahan.

***

Tiba di pekarangan kantor Ares, Hera segera memarkir mobilnya. Halaman kantor yang tampak luas, ditumbuhi pohon dan rumput hijau yang membuatnya asri. Hera turun dari mobilnya. Ditelusuri halaman kantor dan sekelilingnya dari tempat dia berdiri. Seorang satpam berjalan menghampirinya dan membungkuk sebentar memberi hormat.

“Bu Hera sendirian? Ada yang bisa saya bantu bu?” sapa satpam tersebut dengan halus.

“Pak Galih ada? Dia sudah datang belum?”

“Pak Galih sudah datang bu, mau saya antar ke dalam?”

“Gak perlu pak, nanti saya ke sekretarisnya saja. Mari pak...” Hera berjalan menuju ke dalam kantor suaminya.

“Ada yang bia saya bantu bu?” seorang receptionis cantik menyapa Hera.

“Saya ingin bertemu pak Galih”

“Baik bu, tunggu sebentar saya hubungi beliau” wanita itu langsung mengangkat teleponnya dan menghubungi sekretaris Galih.

“Ibu dipersilahkan ke ruang tamu, pak Galih akan segera menemui ibu, mari bu” dengan menunjukkan jalan menuju ruang tamu. Wanita itu berjalan di depan Hera. Sebenarnya Hera sudah biasa keluar masuk kantor ini. Jika merasa suntuk di rumah karena dia belum mendapat pekerjaan yang tepat di kota ini, Hera sering berkunjung untuk sekedar bercengkrama dengan karyawan wanita di sini atau dengan istri karyawan lainnya yang juga kadang bermain ke sini.

Tiba di ruang tamu, Galih sudah berada di situ. Raut wajahnya terlihat tegang. Hera bisa membaca hal itu, tanpa basa-basi Hera langsung duduk di kursi dan menanyakan keberadaan Ares. “Aku gak tahu sebenarnya ada apa ini? Sudah 5 hari Ares sudah gak bisa dihubungi. Apa dia dalam masalah? Kenapa handphonenya tidak aktif? Aku bingung, gelisah, cemas dan juga marah. Suamiku ke luar kota dan gak ada kabar sama sekali. Aku takut ada apa-apa dengannya. Aku juga bingung harus kemana, di rumah hanya sendirian, gak ada teman, gak ada kegiatan, gak ada kerja, tiap hari hanya menonton tv dan tiduran saja. Aku bosan dalam rumah terus, pengen keluar sendiri tapi aku takut kalau hanya sendirian saja. Aku cemas dan marah suamiku gak ada kabar. Apa dia gak khawatir dan gak kasian aku di sini yang sendirian?” Hera berkaca-kaca, suaranya parau dan langsung menjelaskan keadaan dirinya sekarang.

Galih terdiam, wajahnya gelisah. Dia sedih mendengar penuturan istri temannya ini. Seorang wanita muda yang dikenalnya selalu ceria. Ternyata wanita muda ini hidup dalam kesepian dan kejenuhan berada dalam kota kecil yang masih jauh dari teknlogi canggih. Jauh dari hiruk pikuk seperti ibu kota. Diraihnya tangan Hera yang tertunduk dan menunggu jawbaan dari Galih. Hera memandang wajah Galih yang merasa serba salah. Tak kuasa air matanya terus mengalir, “Mas Ares dimana Mas?”. Kini Galih menelan ludahnya, bibirnya masih terkatup. Sepertinya ada sesuatu yang dia sembunyikan.

“Mas Galih tahu di mana mas Ares kan? Mas Galih kenapa diam aja? Mas, mas Galih itu udah aku anggap kakak sendiri. Mas gak tahu gimana bingung, marah dan cemas yang sekarang berkecamuk dalam hatiku?”

“Her, bukannya aku gak mau ngasih tahu. Tapi aku benar-benar gak tahu Ares ada dimana? Seharusnya dia pulang 3 hari yang lalu. Kantor hanya menugaskan dia selama dua minggu saja.”

“Mas Galih gak bohong kan? Demi Tuhan mas Galih gak tahu dimana suamiku? Kenapa wajah mas gelisah gitu? Mas, aku sedang hamil dan aku pengen kondisi jiwa dan badanku baik-baik saja”

“Aku bingung harus memulai cerita dari mana...” Galih menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dilihatnya wajah Hera yang begitu sendu, tak tega rasanya dia membohongi wanita yang ada di depannya ini. Galih memberikan sapu tangan pada Hera. “Her, aku tahu dimana sekarang Ares berada,” wajah Galih berubah serius dan sorot matanya tetap tak bisa ditebak seakan-akan ada sesuatu yang sulit untuk dia ceritakan. Hera yang mendengar kata-kata Galih langsung mendongakkan wajahnya, dihapusnya air mata yang merusak make-upnya.

“Sebenarnya ada apa? Aku pengen tahu, mas Ares agak berubah sebelum keberangkatannya ke luar kota” dengan suara serak dan berusaha menahan tangis Hera mulai menata hatinya. Hera menegakkan badannya, matanya langsung menatap ke arah Galih. Mungkin ini saatnya dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Ares. Tak banyak yang tahu bahwa hubungan rumah tangga mereka yang terlihat harmonis, tapi sering kali terjadi pertengkaran di dalamnya. Hera merasa bosan, suntuk dan penat tinggal di kota asing ini, tak banyak teman kecuali tetangga dan istri teman kerja suaminya. Hera merasa kurang cocok dengan tetangganya yang notabene adalah ibu rumah tangga berusia paruh baya. Istri teman kantor suaminya juga tak banyak yang memiliki pemikiran sama. Begitulah Hera, dia kurang nyaman berada di kota ini, akhirnya sering kali dia mengeluh dan ujungnya menjadi sebuah pertengkaran.

***

Galih menancap gas mobilnya, diliriknya wanita di sampingnya ini. Dia merasa akan terjadi hal yang tidak diinginkan hari ini. Tadi di kantornya, Galih menceritakan semua yang terjadi selama ini. Tentang kedekatan Ares dengan asistennya yang baru. Entahlah, apa yang akan terjadi berikutnya. “Kita makan siang dulu Her, nanti teruskan perjalanan lagi” Galih mencoba mencairkan suasana di dalam mobil. “Aku gak lapar mas, cepat kau kebut saja mobil ini, aku pengen segera bertemu mas Ares,” ada amarah yang tertuang dari cara bicara Hera.

Mobil memasuki sebuah perumahan, Galih mulai menurunkan kecepatan mobil. Hera terlihat tegang, sorot matanya semakin tajam. “Dimana rumah perempuan itu?” tanpa basa-basi Hera langsung bertanya.  Mobil yang mereka kendarai pun terhenti. “Seperti kataku tadi, aku gak mau ikut campur masalah ini. Tapi aku gak tega melihat kamu Her, jadi aku hanya bisa mengantarmu sampai di sini. Kamu jalan aja ke depan, lalu belok kiri, rumah keempat dari jejeran rumah itu.” Galih menjelaskan dengan wajah gelisah, di satu sisi dia berkhianat pada sahabatnya, tapi di sisi lain Galih gak tega kalau rumah tangga sahabatnya hancur karena orang ketiga.

Hera berdiri di depan pagar rumah berwarna hijau ini, tangannya sibuk mencari sesuatu dalam tasnya. Dibukanya pagar yang tidak dikunci itu. hera memasuki halaman rumah itu, dengan tergesa dia mendobrak pintu rumah yang ternyata tidak dikunci juga oleh pemiliknya. Dari arah sebuah kamar, terdengar suara dua orang manusia. Hera menuju kamar tersebut dengan kilatan mata penuh amarah.

“Lacur…… Lonte…… Keparat kamu! Kamu pikir suamiku bisa dipakai seenakmu saja?” Hera kalap, dijambaknya rambut wanita yang sedang bermesaraan dengan Ares di atas ranjang. Ares melotot bercampur kaget dengan kedatangan Hera yang memergokinya sedang bercumbu dengan wanita lain. Dia berusaha melerai istrinya yang sedang kalap menjambak dan mencakar wajah wanita itu. Tapi emosi yang membutakan Hera memberikan kekuatan lebih, Hera semakin kuat dan berusaha mencekek leher si wanita. “Ma, sudah Ma… Bukan salah dia Ma… Ma, sudah hentikan!!! Papa yang salah, Papa yang menduakan Mama…” Ares kebingungan, teriakannya tak terdengar oleh Hera. Ares masih berusaha memegang tangan Hera dan melepaskan cekikan pada leher wanita selingkuhannya itu. Hera malah mendorong keras Ares hingga terpental. Wanita yang sedang dicekiknya hanya bisa meronta-ronta dan berteriak-teriak.

“Craaattt……….” Darah mengucur deras dari leher si wanita. Wanita itu memegang lehernya dengan mata melotot dan menangis, dia kesakitan dan mulai tersengal. Tubuhnya lunglai dan dia terjatuh di lantai bersimbuh darah. Ares langsung berdiri dan menampar Hera, dicekalnya tangan Hera dan dibuangnya pisau lipat yang selalu dibawa kemana-mana oleh istrinya. Ares menghampiri tubuh wanita yang tergolek lemas itu, darah masih mengucur dari lehernya yang robek terkoyak pisau Hera. “Riya, bangun…. Riya bangun…..” Ares mengguncang-guncang wanita yang kini tak bernyawa itu. Dia berteriak-teriak histeris. Hera nyinyir melihat suami yang dia cintai menangis untuk seorang pelacur yang menggoda suaminya dan merusak rumah tangganya.

Hera tertawa keras dan terlihat sorot kemenangan dari kilatan matanya yang penuh amarah. “Aku sudah pernah bilang kan mas, aku akan membunuh siapapun yang berusaha merebutmu dariku. Aku tidak pernah main-main mas. Kenapa mas Ares tega membohongi, mengkhianati aku. Aku yang sendirian di rumah, cemas dan mengkhawatirkan keadaanmu. Kamu malah asyik-asyikan bercumbu dengan lonte ini?” suara Hera meninggi. “Kamu pikir aku selama ini tidak merasa tersiksa? Batinku tersiksa mas, jauh dari keluarga, setiap hari di rumah tanpa memiliki kegiatan. Kamu tak menghargai aku yang selalu berusaha setia menemanimu mas.” Hera mulai melunakkan suaranya matanya muali berkaca-kaca. Tangannya yang berlumuran darah wanita itu, menampar balik Ares yang hanya tergugu di depan mayat wanita selingkuhannya itu.

Ares terkesiap, dia baru menyadari apa yang sedang dirasakan istrinya selama ini. Tapi semua yang terjadi sudah telat. Kejadian barusan begitu cepat, dengan hitungan menit Hera sudah berhasil menjadi seorang pembunuh. Wanita yang begitu dia cintai, wanita yang begitu menyayanginya, kini bagaikan singa yang siap menerkam siapa saja. Ares menangis, dia menyesali kesalahannya. “Maafkan Papa, Ma… Papa memang salah… Ini semua karena nafsu yang tidak bisa terbendung, Riya yang menjebak Papa dalam permainannya. Papa salah Ma…” Ares menangis di depan istrinya. Hera hanya tersenyum dengan pengakuan suaminya itu. “Mas gak salah, mas mungkin khilaf kan sayang? Harusnya mas bisa jaga hati mas, jaga diri. Aku hamil mas, hamil anak kita” Hera mengelus perutnya, bajunya dipenuhi noda darah yang terciprat. Ares semakin menangis mendengar penuturan istrinya.

Hera berjalan maju, diraihnya pisau yang tadi dibuang Ares. Dan “Jleb… Jleb…” beberapa tusukan mendarat di perut dan dada Ares. “Kau juga tak pantas hidup mas, aku benci dikhianati dan kau tahu itu. Aku jijik jika nanti tanganmu menyentuhku lagi, tangan bekas kau membelai wanita lain.” Hera tersenyum sinis. Ares memegangi perutnya yang kini basah dengan darah. “Ma, Mama… Papa sayang Mama.. Apa yang Mama lakukan? Ma…… Pap…..” Ares rubuh. Hera tertawa keras. Matanya yang penuh amarah kini sayu. Tawanya terhenti. “Aku mencitaimu mas, sangat mencintaimu malah. Aku gak ingin ada orang lain di antara kita, dan kini kamu membuat kesalahan fatal. Aku gak mau anak kita tahu bahwa ayahnya selingkuh dengan wanita lain. Aku juga gak mau kalau anak ini terlahir melihat ibunya menjadi seorang pembunuh wanita selingkuhan, sekaligus pembunuh Ayahnya sendiri. Kita pantas mati mas….” Hera menangis tersedu. “Jleb…. Jleb…” dengan beberapa tikaman ke perutnya yang telah membuncit. Hera terhuyung, dipeluknya jasad suaminya. Dikecupnya wajah Ares. Dan matanya terpejam.

***

"dee

*) Tugas dari Ayah Bambak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun