Mohon tunggu...
Suprijanto Rijadi
Suprijanto Rijadi Mohon Tunggu... -

Dosen Jurusan Administrasi dan Kebijakan Kesehatan FKMUI, Dan Direktur 3 RS Swasta di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tantangan Kesehatan Kabinet Jokowi (02): KIS adalah BPJS yang Dipercepat 5 Tahun?

30 Agustus 2014   14:49 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:06 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak saat kampanye Capres dulu, pasangan Jokowi-JK mengunggulkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai Program Utama  mereka dibidang Kesehatan. Mari kita tengok sejarah Kartu Jakarta Sehat  (KJS) pada tahun pertama Jokowi menjadi Gubernur Jakarta, yang menjadi pencetus konsep KIS  .

KJS adalah Suatu program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui UP. Jamkesda Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta kepada masyarakat dalam bentuk bantuan pengobatan. Tujuannya adalah memberikan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi penduduk Provinsi DKI Jakarta terutama bagi keluarga miskin dan kurang mampu dengan sistem rujukan berjenjang. Sebagai sasaran program KJS adalah semua penduduk DKI Jakarta yang mempunyai KTP / Kartu Keluarga DKI Jakarta yang belum memiliki jaminan kesehatan, diluar program Askes, atau asuransi kesehatan lainnya (www.jakarta.go.id).

Masalah utama KJS saat pelaksanaannya ialah pengumuman penggunaan KJS bagi semua penduduk Jakarta pada tahun pertama Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta.  Target  Program Jamkesda  Jakarta sebelum Jokowi hanya untuk 6-7 persen penduduk miskin dari total10 juta penduduk DKI Jakarta, atau 700 ribu orang yang berhak mendapat layanan gratis.  Lalu KJS diumumkan Jokowi dan berlaku untuk semua penduduk baik  yang mampu atau tak mampu, dan semua mendapat fasilitas kesehatan gratis ke Puskesmas dan RSUD Jakarta. Ledakan kunjungan terjadi tiba tiba ke seluruh Puskesmas dan RSUD di DKI Jakarta,  Setelah protes dari masyarakat dan petugas RS dan Puskesmas karena beban layanan kesehatan yang luar biasa, akhirnya tujuan KJS kembali seperti kalimat di website diatas, yaitu hanya ditujukan bagi keluarga miskin dan kurang mampu saja.

Dari pemberitaan Pers selama kampanye Jokowi, belum banyak kejelasan tentang perbedaan KIS dan BPJS.  Salahsatu yang menonjol diberitakan bahwa KIS adalah portable jadi setiap orang bisa berobat dimana saja, dibanding dengan BPJS yang menetapkan bahwa seseorang harus memilih lokasi Puskesmas/Klinik tempat mereka berobat karena dana pengobatannya dibayarkan di Puskesmas tersebut (liputan6.com 16 Juni 2014).  Bahkan secara khusus Jokowi menambahkan bahwa anggaran kesehatan akan dinaikkan menjadi 10% untuk pelaksanaan program KIS ini, dan tidak mengambil anggaran APBD (liputan6.com 17 Juni 2014).

Data dari 1995 sd 2012 menunjukkan bahwa besar anggaran kesehatan kita bervariasi dari 2.5 sd 4 persen dari APBN. Bahkan anggaran RAPBN 2015 yang dirancang SBY anggaran kesehatan turun menjadi 2% APBN.  WHO menganjurkan bahwa anggaran kesehatan minimal  sebesar 5% dari total anggaran negara. Dan statistik menunjukkan bahwa alokasi anggaran kesehatan Indonesia termasuk salahsatu yang terendah di ASEAN, apalagi di Asia.

Pemerintah berdasar atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional  (JKN) melalui BPJS Bidang Kesehatan sejak 1 januari 2014.  Peraturan Pemerintah no 101 tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan menetapkan bahwa mereka yang miskin dan tak mampu iurannya dibayar melalui anggaran Pemerintah. Dari mantan peserta Jamkesmas yang masuk sebagai PBI jumlahnya hampir 90 juta jiwa. Sedangkan dari mereka yang mampu membayar iuran BPJS (dari perusahaan, Askes, Asabri dll) jumlahnya sekitar 35 juta jiwa. Sehingga pada awal 2014 jumlah peserta BPJS diperkirakan sebesar 125 juta jiwa.

Pemerintah mengalokasikan 26 triliun untuk anggaran BPJS tahun 2014, dimana 16 triliun untuk PBI dan 6 triliun untuk PNS dan ABRI. Anggaran ini melonjak lebih dari 3 kali bila dibandingkan anggaran Jamkesmas  2013 yang hanya dialokasikan sebesar 8 triliun saja.  Anggaran bagi BPJS ini terpisah dari alokasi untuk Kementerian Kesehatan yang diproyeksikan sebesar 40 triliun (Bisnis.com).

Oleh karena keterbatasan anggaran negara untuk membiayai 250 juta penduduk Indonesia maka BPJS mengembangkan Peta Jalan 2014 – 2019.  Secara ringkas Proyeksi BPJS dalam 5 tahun kedepan akan menaikkan jumlah cakupan peserta dari 125 juta jiwa di 2014 menjadi 250 juta jiwa (seluruh penduduk) di 2019.

Proyeksi BPJS Untuk Jumlah Peserta 2014-2019

2014

2019

•PNS

•Pensiunan PNS

•Anggota TNI + POLRI (ex- peserta ASABRI)

•Pekerja (ex- peserta Jamsostek)

•Penduduk miskin (ex- peserta Jamkesmas)

•Peserta baru yg mendaftar

•Sekitar 125 juta

•PNS

•Pensiunan PNS

•Anggota TNI + POLRI

•Semua Pekerja (ex- peserta Jamsostek)

•Penduduk miskin (ex- peserta Jamkesmas + Jamkesda)

•Semua Pekerja mandiri

•Semua penduduk

•Sekitar 250 juta

Selain pentahapan jumlah kepesertaan maka seluruh pelayanan peserta BPJS diatas akan bertumpu pada 2 fasilitas pelayanan: Puskesmas untuk UKP tingkat primer, dan RSUD untuk UKP tingkat Sekunder.  Jumlah Puskesmas di 2014 sekitar 9.500 buah artinya rasio peserta BPJS per Puskesmas adalah 13.200 jiwa per Puskesmas. Kalau jumlah puskesmas yang sama harus melayani 250 juta jiwa, maka rasio penduduk/puskesmas akan naik dua kali lipat menjadi 26.300 penduduk/puskesmas.  Sehingga Pemerintah berkewajiban membangun jumlah puskesmas lebih banyak lagi, misal menjadi 20.000 Puskesmas agar cakupan pelayanan bagi 250 juta jiwa penduduk indonesia tetap seimbang (rasio 12.500 jiwa/puskesmas) untuk mencegah pelayanan masyarakat pada tingkat primer tidak meledak seperti di DKI Jakarta.

Dari 2000 RS di Indonesia ada 512 RSUD Kabupaten/Kota yang akan menjadi tumpuan layanan UKP tingkat sekunder. Sehingga pelayanan kesehatan tingkat sekunder kedepan mau tidak mau harus menggandeng RS swasta. Namun tarif program BPJS saat ini masih terlalu rendah sehingga banyak RS swasta masih ragu ragu untuk bergabung dengan program BPJS. Mengapa hal ini terjadi?

Biaya layanan RS secara mendasar dibagi atas 3 komponen: a) biaya investasi modal dan alat, b) biaya operasional pelayanan RS, dan c) biaya honor dan gaji dokter, perawat dan karyawan RS.  Biaya yang dibayarkan oleh BPJS untuk RS saat ini hanya berorientasi pada RS Pemerintah,  yang hanya menghitung Biaya Operasional pelayanan RS karena biaya gaji dan investasi sudah dibayar oleh Pemerintah. Sehingga tarif BPJS sekarang sangat tidak memperhatikan kondisi RS swasta yang harus membeli modal dan alatnya sendiri dan harus membayar gaji karyawannya setiap bulan. Perbaikan tarif layanan BPJS bagi RS akan mampu mengajak keterlibatan RS swasta pada program BPJS, karena jumlah pasien yang besar dan tarif yang menarik  yang akan mendukung kehidupan RS swasta di Indonesia.

Kalau tiba tiba Jokowi pada tahun 2015 memberlakukan Kartu Indonesia Sehat yang mencakup seluruh penduduk Indonesia yang jumlahnya 250 juta jiwa, apakah anggaran kesehatan Pemerintah sanggup untuk membiayai hal tersebut, dan yang tak kalah penting apakah fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah sanggup melayani ledakan jumlah pengunjung diatas? Karena biaya pelayanan yang gratis akan membuat demand pelayanan kesehatan meningkat drastis. Kalau biasanya angka kunjungan ke RS/Puskesmas hanyalah 10-15% jumlah penduduk kalau semua layanan kesehatan gratis maka proporsi yang berobat akan bisa meledak menjadi 25-30% penduduk. Sanggupkah fasilitas layanan kesehatan primer dan sekunder Pemerintah menanggung beban ledakan jumlah kunjungan pasien yang 4 kali lipat dari kondisi saat ini (cakupan naik 2 kali, dan demand layanan juga naik 2 kali)?

Dengan kata lain kalau KIS diberlakukan oleh Jokowi ditahun 2015 besok, maka program KIS ini adalah sama dengan Program BPJS yang dipercepat 5 tahun pelaksanaannya.

Pertanyaan yang terpenting adalah BPJS atau KIS adalah program berbasis Upaya Kesehatan Perorangan (UKP), yang hanya mengobati penyakit di hilir saja. Yang dibutuhkan agar rakyat Indonesia menjadi Sehat adalah program program kesehatan masyarakat atau UKM yang bersifat preventif dan promotif, seperti: program Gizi, program kesehatan ibu dan anak, program upaya kesehatan sekolah, program posyandu, pencegahan penyakit menular dll. Program yang preventif dan promotif di UKM ini secara teoritis mempengaruhi 70-80% status kesehatan masyarakat, sedangkan Layanan kesehatan UKP seperti program pengobatan penyakit (seperti program BPJS dan KIS) hanya mempengaruhi 10-20% status kesehatan masyarakat. Program pembangunan kesehatan yang alokasi pembiayaan keeshatannya dominan di pengobatan/UKP disebut sebagai Paradigma Sakit, sedangkan Program Pembangunan Kesehatan yang mengutamakan pembiayaan kesehatannya untuk program promotif dan preventif/UKM disebut sebagai Paradigma Sehat.

Kalau Jokowi menjanjikan 10% anggaran kesehatan untuk KIS atau UKP, dan data pembiayaan kesehatan dari 10 tahun 1995 – 2012 menunjukkan bahwa memang program UKP menyerap 90% lebih anggaran kesehatan (pembiayaan rumah sakit Pemerintah saja sudah menyerap 50% anggaran kesehatan). Sedangkan program program kesehatan UKM untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat sejak 10 tahun yang lalu hanyalah maksimal 10% dari anggaran kesehatan. Apakah program pembangunan kesehatan di kabinet Jokowi-Kalla kedepan akan berorientasi tetap pada Paradigma Sakit seperti kabinet Suharto atau SBY, ataukah mampu mengembangkan revolusi pelayanan kesehatan menjadi berbasis UKM atau berdasar Paradigma Sehat?

Program BPJS memang spesifik dirancang untuk pembiayaan program UKP, sehingga program kesehatan Pemerintah Pusat dan Daerah seharusnya spesifik dirancang untuk mengembangkan program UKM. Bahkan Undang Undang Kesehatan no 36 tahun 2009 pada pasal 171 mengamanatkan bahwa anggaran kesehatan minimal 5% dari APBN, dan 2/3 alokasinya digunakan untuk layanan UKM. Bandingkan dengan Target Jokowi bahwa anggaran kesehatan adalah 10% APBN, dan hanya untuk KIS saja.

Kalau saja Jokowi mampu mengalokasikan separuh targetnya atau 5% saja dari APBN 2015 yang 2000 triliun rupiah, artinya ada dana 100 triliun untuk kesehatan (alokasi SBY hanyalah 40 triliun untuk kesehatan atau 2%). Kalau 2/3 nya anggaran ini untuk pembangunan program kesehatan berbasis UKM, maka terdapat dana 67 triliun untuk program program kesehatan masyarakat. Kalau saja Jokowi tidak mengutamakan program KIS tetapi lebih mengutamakan arahan UUD 45 dan UU kesehatan untuk berorientasi pada program UKM, maka impian Indonesia Sehat 2020 mungkin akan menjadi kenyataan dan bukan sekedar impian. Wallahu alam….

Depok, Akhir Agustus 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun