Pada tahun 2012, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. "Setelah adanya undang-undang tersebut, pelaksanaan pengadaan tanah sudah menjadi lebih baik. Walau begitu, ada juga kendalanya, antara lain adanya dokumen perencanaan pengadaan tanah yang didukung oleh data serta anggaran yang akurat, sehingga terjadi revisi karena tidak sesuai kondisi fisik dan akibatnya adalah penambahan anggaran. Kemudian penetapan lokasi atau penlok, yang diterbitkan oleh Gubernur, belum sesuai dengan tata ruang.
Apabila izin pelepasan objek pengadaan tanah yang masuk ke kawasan hutan, tanah wakaf, Tanah Kas Desa (TKD), tanah aset instansi, ini pelepasannya butuh waktu yang lama. Kemudian pengadaan tanah untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) terhambat karena belum termasuk jenis kepentingan umum, sehingga tidak dapat menggunakan UU Nomor 2 Tahun 2012.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) telah memberikan terobosan dalam pelaksanaan pengadaan tanah. Ia menuturkan bahwa apa yang menjadi kendala dalam pelaksanaan UU Nomor 2 Tahun 2012 dapat diatasi.
Apabila lokasi pengadaan tanah masuk dalam kawasan hutan, maka akan dilakukan pelepasan kawasan hutan, yang ketentuannya akan diatur dalam peraturan turunannya. Dalam UUCK juga mengamanatkan Kementerian ATR/BPN dalam menyusun perencanaan pengadaan tanah, tentunya Kementerian ATR/BPN akan banyak memberikan masukan dari aspek perencanaan,
Selain itu, UUCK juga mengamanatkan untuk konsinyasi dalam penyelesaian ganti rugi di Pengadilan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 14 hari. Untuk penlok dalam skala kecil dapat ditetapkan oleh Bupati dan Wali Kota dan untuk ganti rugi untuk tanah kas desa serta tanah wakaf, nilai ganti kerugian bersifat final dan mengikat.
Pengadaan Tanah memang masalah yang mendominasi pembangunan infrastruktur. Terlebih sejak 2020, pertumbuhan perekonomian Indonesia mengalami kontraksi dari 5,02% turun hingga 2,07% dan paling berpengaruh pada sektor konstruksi karena Covid-19.
Adanya PP turunan dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang baru ini, akan dapat menyelesaikan semua masalah yang terkait dengan pengadaan tanah untuk pembangunan dan mendukung percepatan pembangunan proyek strategis nasional sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian.
Pemahaman dan standar bersama mengenai implementasi UU Cipta Kerja terhadap pengadaan tanah. Juga harmonisasi kaidah-kaidah dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terhadap semua pemangku kepentingan terkait demi mendukung percepatan pembangunan infrastruktur nasional sangat diperlukan.
Bank Tanah dalam Undang-Undang Cipta Kerja
Presiden Jokowi mencetuskan gagasan pembuatan 2 (dua) omnibus law, salah satunya adalah Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja. Adapun omnibus law memiliki pengertian sebagai suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang subtansi pengaturannya berbeda menjadi 1 (satu) peraturan dalam 1 (satu) payung hukum. Setelah melalui proses penyusunan dan pembahasan bersama Dewan Perwakilan Rakyat, tanggal 2 November 2020 Presiden Joko Widodo secara resmi mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (selanjutnya disebut sebagai UU Cipta Kerja). Salah satu klaster dalam UU Cipta Kerja yang dianggap kontroversial dan merugikan kepentingan masyarakat adalah klaster pertanahan, khususnya tentang Bank Tanah.
Bank Tanah diatur dalam pasal 125 sampai dengan pasal 135 UU Cipta Kerja.[3] Bank Tanah adalah badan khusus yang mengelola tanah, dan berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Bank Tanah hadir sebagai land manager. Land manager akan berfungsi membentuk strategi pengelolaan tanah untuk dapat mengembangkan penggunaan tanah yang optimal. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa dengan terbentuknya Bank Tanah dapat menimbulkan lebih banyak kerugian dibandingkan keuntungan sehingga pada akhirnya berpotensi mengganggu kepentingan masyarakat Indonesia. Adapun melalui tulisan ini, penulis mencoba menunjukan beberapa hal terkait Bank Tanah yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja menjadi landasan hukum bagi berdirinya suatu lembaga negara baru di Indonesia, yaitu Bank Tanah itu sendiri. Pendirian suatu lembaga baru memerlukan berbagai sarana dan prasarana yang harus dipersiapkan terlebih dahulu agar lembaga tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.