Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

ACT, Idealisme yang Luntur

6 Juli 2022   09:55 Diperbarui: 12 Juli 2022   23:16 773
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relawan ACT / Yuni Kartika - Pinterest

Sebuah lembaga kemanusiaan tentu didirikan atas dasar idealisme menolong sesama yang mengalami kesulitan dan kesusahan. 

Idealisme itu menghasilkan orang orang  yang mengedepankan kepentingan masyarakat daripada kepentingan pribadi atas dasar kemanusiaan. 

Apa yang disampaikan oleh mantan petinggi ACT sekaligus pendirinya, Ahyudin sungguh memukul perasaan para pekerja kemanusiaaan. 

Ahyudin mengatakan bahwa wajar petinggi ACT digaji puluhan hingga ratusan juta rupiah karena lembaga itu sudah mendunia dan berhasil menghimpun dana hingga trilyunan rupiah. Petinggi ACT mempunyai hak untuk mendapat gaji besar dan fasilitas mewah atas kerja kerasnya. 

Saya sering bertemu dan bekerja sama dalam berbagai kegiatan dengan personel lapangan beberapa lembaga kemanusiaan kelas nasional dan internasional. PLAN Intenational, Compassion, Save The Children, relawan ACT dll. 

Salah satu pengalaman bertemu dengan para pekerja kemanusiaan itu saat kami bersama sama menolong masyarakat yang tertimpa bencana gempa bumi di Padang tahun 2009. 

Selain di lapangan/masyarakat, kami juga sering bertemu ketika mengisi bahan bakar atau beristirahat sejenak di warung warung. Di waktu itulah kami biasanya ngobrol, bertukar informasi dan saling curhat. 

Pertemuan tidak hanya diwaktu hari terang, ketika matahari sudah tenggelam atau mau muncul kembali pun kami kadang bertemu karena masih bekerja. Kami sedang menolong masyarakat yang sedang terhimpit bencana dan harus segera mendapat bantuan. 

Kesan yang selalu saya dapatkan ketika sempat mengobrol dengan mereka adalah semangat dan tak kenal lelah. Makan seadanya, tidur sering ditempat yang tak semestinya. Kami juga harus bekerja jauh dari rumah dan keluarga yang dilakukan dengan sukarela. 

Idealisme dan kemanusiaan adalah alasan mengapa kami melakukan pekerjaan yang juga penuh resiko ini. 

Melakukan kegiatan ditengah bencana gempa bumi juga berarti mempertaruhkan nyawa melawan bencana yang tak diketahui kapan terjadinya. Maksud hati menolong korban tetapi kami juga bisa menjadi korban bencana itu. 

Pekerjaan tak kenal waktu dan penuh resiko ini tak sebanding dengan upah atau gaji yang diterima. Terkadang para relawan itu hanya mendapat upah/gaji kurang atau sedikit diatas UMR. Ada juga relawan yang tidak mendapat upah sama sekali. Hanya sekedar uang bensin dan uang makan sekedarnya. 

Namun ditengah kesulitan bekerja di lapangan dan pendapatan yang tak seberapa, imbalan lain selalu kami dapatkan; senyum dan ucapan terima kasih dari masyarakat yang kami tolong serta ajakan tetap semangat dari sesama relawan. Kami mendapat doa kebaikan yang yang efeknya bisa dirasakan hingga kami tidak bekerja lagi di bidang kemanusiaan. 

Karena idealisme dan kemanusiaan yang dikedepankan, kami tak mempersoalkan jumlah gaji. Pun, kami tak memperdulikan fasilitas apa yang kami terima. Yang penting cukup untuk menjalankan roda kegiatan di masyarakat dan roda kehidupan keluarga, kami sudah cukup puas menerimanya. 

Dalam kasus ACT, tampak idealisme para petingginya sudah luntur. Mereka mulai berhitung untung rugi seperti halnya perusahaan profit, lupa bahwa misi ACT adalah kemanusiaan. Ketika dana yang didapat naik hingga trilyunan, gaji dan fasilitas harus bertambah laiknya petinggi perusahaan multinasional. 

Dengan posisi organisasi yang dikelola sendiri oleh Ahyudin dkk selama bertahun tahun, tentunya tak sulit membuat kebijakan yang menguntungkan para petinggi dan pengurus ACT. 

Jika memang benar ada pembelian dan pembayaran cicilan rumah ditambah perabotnya untuk Ahyudin, itu bisa membuktikan bahwa keuangan organisasi dipakai dengan 'semena mena'. 

Saya yakin awal muka berdirinya ACT tahun 2005  tentunya didasari oleh idealisme Ahyudin untuk menolong sesama. Namun dengan jalannya waktu, ketika ACT sudah menjadi organisasi besar dan global dengan dana yang begitu besar, idealisme itu luntur oleh iming iming nikmat dunia. 

Atau keyakinan saya salah.

Ahyudin mendirikan ACT bukan untuk misi kemanusiaan, tetapi seperti meme yang dibuat para netizen, yaitu lembaga misi Aksi Cepat Tajir. 

"Jika ingin cepat kaya, jangan bekerja di lembaga kemanusiaan". 

Salatiga, 060722.133

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun