Bumi pertiwi yang semoga selalu rakyatnya cintai ini memegang anugerah besar dari Sang Kuasa. Kawasan perairannya yang luas menyimpan segudang kekayaan berupa sumber daya perikanan dan kelautan. Namun sayangnya sumber daya ini ternyata masih belum mampu dioptimalkan oleh nelayan Indonesia. Berbagai problematika menjadi masalah nyata bagi mereka. Akankah negara bertindak? Ataukah problematika nelayan hanya akan menjadi catatan ironi belaka?
Dimuat dalam laman Indonesiabaik.id, menyebutkan bahwa Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia sudah mengantongi isu-isu yang dihadapi para nelayan Indonesia. Ternyata nelayan masih mengalami krisis aset, mereka mengaku kesulitan mendapatkan bantuan kapal untuk berlayar, biaya bahan bakar solar terlalu tinggi hingga asuransi jiwa bagi mereka masih belum merata. Asuransi nelayan memberikan jaminan khusus kepada para nelayan terhadap risiko atau kecelakaan kerja guna meningkatkan kualitas hidup nelayan di Indonesia.Â
Di luar permasalahan aset, nyatanya masih banyak lagi problematika yang hingga kini menjadi penghalangan para nelayan dalam memaksimalkan hasil kerjanya. Seperti kurangnya pemahaman tentang bagaimana memanfaatkan pendapatan untuk pengembangan usaha, informasi terkait cuaca, arah angin dan kondisi ombak di lautan yang masih sulit mereka jangkau, hingga minimnya akses informasi tentang jenis ikan yang tengah diminati di pasar. Dan yang masih menjadi parasit pendistribusian yaitu kemunculan para tengkulak yang jelas merugikan para nelayan dengan kesuperiorannya memonopoli harga
Berita yang ditulis oleh humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia dalam website-nya memberitakan kunjungan Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Iriana ke Kampung Nelayan Desa Pajakukang, Kecamatan Bantoa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (29/3/2023). Di sana Bapak Presiden Joko Widodo mendengarkan para nelayan menyampaikan masalah yang mereka hadapi. Nelayan Desa Pajakuang mengaku memusingkan persoalan konflik antarnelayan hingga alat tangkap ikan.Â
Konflik antarnelayan ini disebabkan oleh daerah perbatasan penangkapan ikan hingga jenis jarring yang digunakan. Kelompok nelayan kapal besar yang cenderung menggunakan alat tangkap pukat harimau sangat dikecam, sebab dinilai merugikan kelompok nelayan tradisional. Penggunaan pukat harimau berimbas pada pengurangan jumlah tangkapan ikan nelayan tradisional. Di sisi yang berlawanan, nelayan yang terbiasa menggunakan pukat meminta agar diberi kebebasan menggunakan pukat harimau ketika mencari ikan. Dengan dalih hak mencari rezeki, para kelompok nelayan pukat terus mendesak kebebasan pada pemerintah.Â
Menjadi sebuah jawaban yang selalu ditunggu para kelompok nelayan, tentang bagaimana negara akan menolong mereka menuju kesejahteraan nelayan Indonesia. Mengingat seberapa krusialnya peran nelayan dan pembudidaya untuk menjaga kedaulatan pangan nasional. Tercatat bahwa produk perikanan menyediakan sekitar 54% dari keselurhan protein hewani yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Maka, apakah profesi nelayan masih layak untuk negara kesampingkan?Â
Sepatutnya negara mulai memperhatikan terhadap penggunaan bahan bakar solar, karena bukan tidak mungkin ditemukan penggunaan solar oleh pihak yang tidak berhak. Hal ini menjadi pemberi sumbangsih terhadap kelangkaan atau tingginya harga solar.Â
Selain itu, para nelayan ternyata masih perlu untuk diberi bekal tentang pemanfaatan keuntungan seoptimal mungkin supaya dapat menjadi pengembangan usahanya. Pembekalan ini juga tidak terlepas dari sejauh apa peran negara memberi pendidikan khusus bagi para nelayan Indonesia. Lain lagi dari hanya sekadar pemanfaatan keuntungan, para nelayan memerlukan informasi pasti tentang prakiraan cuaca dan kondidi lautan sebagai perhitungan keamanan mereka bekerja. Mungkin negara bisa membuatkan lembaga khusus penyuplai informasi cuaca dan kondisi lautan untuk para nelayan Indonesia guna menjamin keamanan.Â
Kenyamanan para nelayan untuk berlayar belum tercapai bila asuransi nelayan saja belum kunjung didapatkan. Program ini bukan suatu program mandek yang hanya menjadi omong kosong semata, tetapi penyebarannya saja yang masih belum menyeluruh. Seharusnya golongan nelayan mencakup nelayan kecil atau tradisional, pembudidaya ikan hingga petambak garam berhak memiliki asuransi ini. Â Menjadi nelayan memang memiliki resiko tinggi, mengingat profesi ini mengharuskan pekerjanya berada di laut lepas untuk mencari ikan. Maka keberadaan jaminan atau asuransi ini menjadi sangat krusial. Sebaiknya KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) betul-betul menyikapi program ini dengan baik agar seluruh nelayan Indonesia mendapatkannya
Berkaca pada fakta, ternyata asuransi saja belumlah cukup untuk menyejahterakan para nelayan Indonesia. Pemasaran ikan hasil tangkapan belum maksimal sebab para tengkulak yang terus merenggut keuntungan yang seharusnya dimiliki para kelompok nelayan Indonesia. Pemerintah harus menyiapkan skenario jitu untuk segara memutus mata rantai tegkulak. Banyak upaya yang bisa pemerintah pilih untuk mengtasi permasalahn ini. Salah satunya memanfaatkan teknologi berupa digital marketing yang akan menjalankan fungsi distribusi hasil perikanan secara luas dan langsung melalui internet.Â
Terlepas dari semuanya, tulisan ini hanya akan menajdi dongeng penuh bualan apabila hingga nanti nelayan masih terus termenung menunggu gerak negara yang dusta. Bukan sebuah angan-angan semata bahwa perikanan Indonesia akan sejahtera bila negara siap ambil peran. Bukan peran semu, bukan pula peran figuran, tapi negara wajib berperan besar dalam peningkatan kesejahteraan nelayan Indonesia. Sebab ketika nelayan hendak maju, negara perlu membantu