Ibu...
Ibu adalah sosok pertama yang dikenal seorang anak. Anak mendapat pelajaran pertama dari keluarga, terutama ibu. Kesalehan seorang anak, banyak ditentukan oleh akhlaq ibunya. Ibulah sosok pertama yang dikenal anak.
Tak heran, karena ibulah orang yang mengandung kita, merawat kita, dari dalam kandungan sampai dewasa bahkan sampai kita tua sekalipun. Ibu tidak pernah lelah membimbing kita, menasehati kita dengan segala caranya.
Ibu rela melakukan apa saja demi membuat anak-anaknya bahagia. Ibu rela menahan rasa lapar asal anak-anaknya tak merasakan hal yang sama. Ibu jugalah yang pertama kali bangun dan terakhir merebahkan badannya.
Terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Ayah saya seorang PNS DPK Kementerian Agama (Depag waktu itu disebut) dan ibu seorang ibu rumah tangga. Tentulah sangat berat, bagaimana membiayai tiga orang anak yang semuanya bersekolah sampai tingkat Perguruan Tinggi. Apalagi, sudah menjadi sebuah rahasia umum, gaji seorang PNS saat itu amat sangat rendah, jauh dari kata sejahtera. Tak jarang, bapak mengambl kredit di KPN ketika tiba saatnya membayar SPP.
Kami, adalah tiga bersaudara. Kakak pertama, adalah laki-laki. Kakak kedua perempuan dan ketiga adalah saya. Tak bisa kami bayangkan, betapa repotnya mengasuh tiga anak tanpa pembantu. Saat itu, juga belum ada alat elektronik seperti sekarang ini.Â
Untuk memasak, harus menggunakan kayu bakar, belum ada kompor. Untuk menyeterika, harus menggunakan arang, bahkan air bersihpun belum tersedia. Kedalaman sumur lebih dari 25 meter, jadi untuk kebutuhan mencuci, kami harus ke sungai yang berjarak sekitar setengah kilometer dengan jalan yang lumayan menanjak. Belum ada listrik, sehingga masih harus memakai lampu teplok, belum ada televisi apalagi mesin cuci atau kulkas.
Demi menyambung ekonomi, segala macam pekerjaan dilakoni ibu. Memelihara ternak mulai dari berternak ulat, burung puyuh, ayam petelur, ayam pedaging, kambing, sapi juga lele, gurami dan nila. Tak pernah merasa lelah  ibu melakukan itu semua.
Ibu juga pernah bekerja membuat gula merah. Setiap pagi dan sore ada didepan perapian untuk merebus "legen". Legen adalah nira yang baru disadap dari pohon kelapa. Setelah direbus kurang lebih 3 atau 4 jam, barulah "legen" tersebut mengental dan siap dicetak menjadi gula merah. Setelah menjadi gula, ibu menjualnya ke pasar setiap hari.
Ketika memelihara sapi, tak jarang ibu harus mencari rumput sendiri karena kalau hanya mengandalkan rumput yang dibeli, tidak cukup untuk membuat sapi-sapi milik kami kenyang. Apalagi, saat itu kami memiliki sapi lebih dari lima ekor. Selain merumput, memerah susu juga menjadi pekerjaan rutin beliau setiap pagi dan sore.