Ramai dibicarakan akhir-akhir ini, beberapa muda mudi sedang berselfi ria di kawasan bencana Gunung Semeru pasca erupsi beberapa hari yang lalu. Tindakan yang mereka lakukan mengundang berbagai komentar dari berbagai pihak. Komentar yang diberikan kepada mereka kebanyakan adalah komentar yang negatif.
Berselfi atau berswafoto sudah menjadi kebiasaan banyak orang terutama para pengguna media sosial. Berswafoto atau berselfi memang bisa memenuhi kebutuhan manusia untuk beraktualisasi diri.
Aktualisasi diri atau yang disebut juga dengan self actualization adalah suatu kebutuhan seseorang individu di dalam menggunakan, dan juga mengembangkan serta  memanfaatkan potensi, dan bakat serta  kapasitas yang dimiliki kemudian menghasilkan serta  mewujudkan dirinya sesuai dengan keinginannya.
Keinginan untuk beraktualisasi diri sekarang sudah melenceng maknanya. Aktualisasi lebih difokuskan kepada keinginan untuk bisa eksis serta diakui keberadaannya di dunia maya.Â
Sehingga tak jarang, banyak orang terkesan mencari sebuah acara yang tak lain tujuannya adalah supaya bisa tampil di dunia maya dengan sempurna. Tidak bisa dipungkiri, kebutuhan serta keinginan untuk bisa eksis dan diakui keberadaannya di dunia maya menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat luas terutama muda mudi.
Sebenarnya, berswafoto adalah hal yang wajar serta lumrah dilakukan. Akan tetapi, apabila terlalu berlebihan serta tidak terkendali bisa menjadi sebuah gangguan kejiwaan atau yang disebut dengan selfitis.
Selfitis adalah sebuah istilah baru yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang terlalu terobsesi untuk melakukan swafoto dan diunggahnya dimedia sosial yang dimiliki, seperti facebook, instagram, status whatsapp dan lain-lain.
Meski demikian, bukan berarti bahwasanya semua orang yang suka berswafoto mengalami gangguan selfitis. Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang mengalami selfitis, antara lain:
- Lebih dari 50% foto yang diunggah di media sosial adalah hasil dari swafoto. Dalam sekali kesempatan, mereka bisa mengunggah foto puluhan bahkan ratusan swafoto
- Merasa sangat puas apabila bisa mengunggah foto dimedia sosial yang dimiliki. Terlebih apabila ada yang memberi komentar atau memujinya karena memang itu tujuan utama untuk mengunggah foto.
- Selalu berpikir untuk selalu melakukan swafoto sehingga mengganggu tugas utama
- Merasa sedih, cemas bila tidak bisa melakukan swafoto
- Rela melakukan segala sesuatu untuk bisa melakukan swafoto yang menarik. Mereka tak segan untuk mempercantik fotonya dengan cara sedemikian rupa(edit menggunakan aplikasi percantik diri)  sehingga fotonya terlihat  menarik serta tidak mengecewakan bila dipandang.Â
- Selain itu, mereka juga akan melakukan segala cara agar fotonya disukai banyak orang, seperti mencari spot atau tempat yang sedang viral, di tempat-tempat bencana bahkan dalam suasana berkabung sekalipun.
Meskipun tidak berbahaya bagi diri sendiri maupun orang lain, tetapi selfitis hendaknya tidak dibiarkan berlarut-larut karena dalam jangka panjang, selfitis akan memberikan dampak negatif baik bagi fisik maupun mental  seseorang.
Sebuah study menunjukkan seseorang yang memiliki kecanduan untuk berswafoto rentan terhadap gangguan kepribadian narsistik. Gangguan tersebut ditandai dengan keyakinan bahwa dirinya lebih baik, menarik,  pandai,  cantik, tampan, kaya juga lebih berhasil dari orang lain sehingga dia selalu butuh pujian dari orang lain, kurang empati terhadap orang lain sehingga tidak memiliki rasa kepedulian sosial terhadap orang lain dan  cenderung bersikap arogan.
Orang yang memiliki gangguan selfitis lebih rentan untuk mengalami depresi. Depresi ini biasanya hanya karena hal yang sepele, seperti karena dikomen negatif oleh netizen di media sosialnya.