Membentuk sebuah karakter anak bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan dalam jangka waktu yang pendek. Diperlukan kebersamaan semua elemen mulai dari lingkup keluarga, sekolah dan masyarakat. Â Â Dan waktunyapun tidak bisa dilaksanakan secara instan, Â akan tetapi membutuhkan waktu yang sangat panjang dan berkesinambungan.
Selama ini, tolok ukur keberhasilan pembentukan karakter anak seolah-olah hanya menjadi tanggung jawab pihak sekolah saja (dalam hal ini guru). Padahal kalau kita cermati, dari dua puluh empat jam, waktu yang dihabiskan di lingkup sekolah hanya maksimal sepertiganya saja. Selebihnya, anak berada dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Bagaimana karakter anak akan terbentuk dengan baik, sedangkan situasi keluarga dan lingkungan kurang begitu mendukung.
Sebuah keluarga yang harmonis, yang seluruh anggota keluarganya taat menjalankan agama, terbiasa dilantunkan ayat-ayat suci dalam keluarga tersebut, tentu karakter anak akan terbentuk dengan baik dibandingkan dengan situasi keluarga yang selalu ribut dan tidak ada anggota keluarga yang taat beragama.
Begitu juga dengan lingkungan masyarakat yang damai, tentu akan membentuk karakter anak menjadi lebih baik dibandingkan dengan lingkungan yang gaduh, banyak orang mabuk-mabukan disekitar rumah bahkan banyak yang suka bicara kasar dilingkungan tersebut.
Pendidikan Agama Islam yang diajarkan di sekolah saat ini masih didominasi aspek kognitif atau pengetahuan saja. Terbukti, untuk ujian akhir sekolah masih diadakannya test secara tertulis untuk menguji kemampuan peserta didik di bidang pengetahuannya. Sementara itu aspek sosial, spiritual dan psykomotornya belum begitu disentuh.Â
Aspek afektif yang meliputi perilaku sosial siswa seperti sikap sopan santun, kepedulian, percaya diri merupakan sikap yang tidak bisa dinilai sehari dua hari apalagi hanya ketika peserta didik berada di sekolah saja. Penilaian aspek ini memerlukan waktu dua puluh empat jam sehari dan setiap saat. Penilainya pun tidak bisa hanya dilakukan guru saat disekolah, tetapi fihak keluarga dan masyarakat juga harus turut berpartisipasi aktif dalam hal ini.
Aspek spiritual yang meliputi ketaatan beribadah siswa juga memerlukan kerja sama antara orang tua dan guru untuk pengontrolannya. Bagaimana guru bisa memberikan penilaian spiritual, apabila peserta didik hanya beberapa jam berada di lingkungan sekolah. Satu hal yang bisa dijadikan solusi dalam hal ini adalah memberikan lembar kontrol ibadah kepada peserta didik yang pengawasannya diserahkan ke orang tua masing-masing siswa.
Aspek psykomotor, yang merupakan aspek ketrampilan peserta didik, penilaiannya bisa dilakukan guru dengan meminta peserta didik mempraktekkan ibadah yang telah dikuasai siswa. Akan tetapi untuk penerapan penilaian ketrampilan inipun sangat erat kaitannya dengan aspek spritual yang diterapkan sehari-hari.
Oleh karena itu, kerja sama yang harmonis serta saling melengkapi antar berbagai elemen yang meliputi pihak sekolah, pihak keluarga serta masyarakat harus terus diupayakan untuk bisa mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya karakter siswa yang positif.
Blitar, 6 September 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H